Foto: Imdb.com |
Film bergenre horor komedi punya tantangan besar dalam
mengakomodir dua genre yang perlu kelihaian dalam memadukannya untuk dapat
membuat penonton bergidik ngeri dan tertawa geli. Karena itulah, sangat mungkin
akan ada kecenderungan yang mendominasi, apakah lebih banyak porsi horornya,
atau komedinya. Itu juga yang terjadi di film Agak Laen. Kita akan melihat
bahwa 90% dari film ini adalah komedi, dan horor adalah sisanya.
Suasana mencekam memang tetap dicoba dibangun dalam film ini.
Dengan dominasi latar waktu di malam hari, wahana rumah hantu dengan cahaya
yang minim, munculnya penampakan sosok hantu sungguhan, benda yang tiba-tiba
jatuh, angin yang bertiup kencang, api yang menyala-nyala, mayat berbalut
kafan, kuburan, – tetap saja kelucuannya lebih banyak hadir dibanding
kengeriannya.
Muhadkly Acho, sebagai sutradara
sekaligus penulis skenario film ini bukan kali pertama menggarap film bergenre
horor komedi. Ia pernah menyutradarai film Ghost Writer 2 sekaligus menulis
skenarionya bersama Nonny Boenawan. Namun, dalam Ghost Writer 2, unsur
komedinya justru yang lebih tipis dibanding horornya.
Terlepas dari apa pun genre-nya, dan komposisi apa yang lebih dominan dalam
porsinya, baik itu komedi maupun horor, film Agak Laen memiliki kekuatan yang
seperti kita ketahui dari segi komersialnya, telah meraup jutaan penonton.
Tulisan ini akan mengulas bagaimana kekuatan komedi dalam film Agak Laen diramu
dengan menggabungkan beberapa tipe humor. Namun, sebelum menjadi blur antara
penyebutan komedi dan humor yang tampak serupa, maka dipahami terlebih dulu
bahwa penyebutan komedi lebih kepada genre dari sebuah karya, sedangkan humor
merupakan lelucon yang membuat tertawa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), komedi diartikan: sandiwara ringan yang penuh dengan kelucuan meskipun
kadang-kadang kelucuan itu bersifat menyindir dan berakhir dengan bahagia.
Sementara humor dalam KBBI memiliki arti: sesuatu yang lucu atau keadaan (dalam
cerita dan sebagainya) yang menggelikan hati; kejenakaan; kelucuan.
Ini juga semakin ditegaskan bedanya dalam buku Comedy: A Very Short
Introduction (2013) yang ditulis Matthew Bevis, bahwa dalam komedi ada humor
dan kecerdasan atau aspek kognitif, sedangkan humor lebih berkaitan dengan
perasaan dan suara hati.
Singkatnya, komedi merupakan karya untuk membuat penonton tertawa, sementara
humor merupakan elemen yang bisa membuat orang tertawa, baik dalam karya
komedi, maupun dalam konteks apa pun.
Memformulasikan Tragicomedy dalam Aneka Bentuk Humor
Film Agak Laen meraup lebih dari 9
juta penonton yang menempatkannya menjadi film Indonesia terlaris ke-2
sepanjang masa setelah film KKN Desa Penari dan menjadi film terlaris pertama
yang rilis di tahun 2024 sepanjang paruh ke-2 tahun ini berjalan.
Tentu bukan karena lucu dan menghibur saja, film ini berhasil mengangkat isu
yang relevan dengan konteks sosial di masa sekarang serta menampilkannya lewat
unsur-unsur di filmnya dengan sangat baik. Mulai dari premis, karakterisasi
tokoh, setting, adegan, plot, diolah dalam estetika film yang pas sehingga
penonton dapat menikmati dan mendapat kepuasan dari menonton film ini dari awal
hingga akhir.
Sepanjang film kita terbuai dalam humor yang beragam. Jika biasanya suguhan
humor kebanyakan dalam film komedi dimunculkan secara verbal, yakni melalui
permainan kata di percakapan atau dialog antar tokohnya, pada film Agak Laen
humor itu hadir dalam banyak bentuk.
Dalam dua film sebelumnya, Acho pun cukup banyak menempel humor pada dialog di
film Ghost Writer 2 dan Gara-Gara Warisan. Lelucon hadir dari celetukan pada
dialog, yang sayang sekali untuk ruang visual seluas film tentunya bisa digarap
dengan lebih maksimal. Tampaknya Acho pun sangat berkembang dari karya
sebelumnya. Kelucuan bukan semata dalam bentuk verbal saja, tapi hadir dalam
berbagai adegan sepanjang keseluruhan film. Ada kematangan dalam mengemas
komedi dalam pengadeganan.
Film Agak Laen bukan hanya kental dengan komedinya, tapi juga menggabungkan
tragedi ke dalamnya. Tragicomedy menjadi hal yang cukup pas untuk menyebut
genre film ini. Dalam buku kumpulan esai Early Modern Tragicomedy (2007) yang
diedit Subha Mukherji dan Raphael Lyne, tragicomedy merupakan salah satu bentuk
drama yang terpengaruh oleh konsep komedi dan tragedi dari Aristoteles.
Tragicomedy bukan hanya memengaruhi seni literasi dan pertunjukan, tapi juga
film. Dalam bukunya Poetics (1819), Aristoteles mengungkap bahwa komedi adalah
imitasi sesuatu yang menggelikan, suatu kelainan yang tidak menimbulkan
penderitaan serius. Sementara tragedi merupakan peristiwa yang menimbulkan rasa
kasihan karena adanya perubahan dari nasib baik menjadi kemalangan yang bukan
disebabkan kejahatan, melainkan kesalahan.
Karena itulah tragicomedy, berarti menggabungkan keduanya, sesuatu yang
menggelikan tapi juga melibatkan rasa kasihan karena kemalangan. Walau
sebenarnya jika dilihat secara terpisah, terdapat perbedaan dari keduanya
seperti dalam buku An Apology for Actors: In Three Books (1841) yang ditulis
Thomas Heywood, bahwa terdapat hal yang berkebalikan antara komedi dengan
tragedi. Jika komedi dimulai dengan kekacauan dan berakhir dengan kedamaian,
tragedi justru dimulai dalam ketenangan dan berakhir dengan prahara.
Inilah formula yang ditampilkan dalam film Agak Laen, menggabungkan tragedi dan
komedi yang saling tumpang tindih, serta sambung-menyambung secara
berkesinambungan. Mari kita lihat bagaimana film Agak Laen menggarap humor dari
peristiwa-peristiwa pelik yang dengan apik diperlihatkan dari berbagai unsur
intrinsik dalam filmnya namun juga berkaitan erat dengan konteks sosial yang
melingkupinya.
Adegan Pembuka: Waria Menjadi “Wahana”
Film ini bercerita tentang empat sekawan, Oki (Oki Rengga), Boris (Boris
Bokir), Bene (Bene Dion Rajagukguk), dan Jegel (Indra Jegel) yang berupaya
merenovasi wahana rumah hantu yang nyaris tutup di pasar malam tempat mereka
bekerja, agar menjadi lebih seram sehingga menarik banyak pengunjung. Namun,
ternyata ada orang meninggal di rumah hantu tersebut dan jadi hantu sungguhan,
serta menimbulkan masalah baru bagi empat sekawan tersebut.
Film dibuka dengan adegan yang sangat mengesankan, yaitu Oki yang jadi salah
satu “wahana” Lempar Kuyup di pasar malam Rawa Senggol. Oki duduk di atas kolam
penuh air dengan dandanan perempuan, lengkap dengan rambut palsu dan baju
seksi.
Pengunjung boleh melempar bola ke sebuah sasaran, jika terkena, maka tempat
duduk Oki akan bergoyang dan Oki jatuh ke kolam. Saat Oki jatuh para pengunjung
tertawa. Oki tampak tidak senang melakukannya, bahkan ia bilang ke pengunjung
untuk berhenti melempar karena dia sedang tidak enak badan. Tapi hal itu tidak
dihiraukan, ia pun tetap menjadi bahan guyonan.
Adegan pembuka ini juga menjadi “gerbang” bagi penonton untuk memasuki
keseluruhan cerita dalam film ini, bahwa derita para tokohnya lah, terutama Oki
akan penuh kemalangan hingga akhir film. Walau penonton belum diceritakan latar
belakang hidup Oki, empati penonton kepada tokohnya dibangun sejak awal dengan
baik.
Setting Pasar Malam: Rentetan Malapetaka di Tempat Hiburan
Foto: Pasar Malam Rawa Senggol di Film Agak Laen |
Hal paling menarik yang utama dari film Agak Laen tentu adalah pemilihan konsep
setting yang mengambil lokasi Rumah Hantu di Pasar Malam. Pasar Malam adalah
tempat hiburan yang murah meriah bagi masyarakat, khususnya kalangan menengah
ke bawah. Dengan mengeluarkan uang yang tidak perlu banyak, ada berbagai wahana
yang bisa dinikmati.
Dalam buku Film: A Critical Introduction (2005) yang ditulis oleh Maria
Pramaggiore dan Tom Wallis dijelaskan bahwa fungsi utama setting adalah
menunjukkan waktu, tempat, serta memperkenalkan ide, tema, dan menciptakan mood
di setiap adegan pada keseluruhan film. Karena itulah, pemilihan setting yang
tepat dapat turut membangun suasana yang lebih kuat atas setiap situasi dan
peristiwa yang terjadi di film.
Pemilihan pasar malam sebagai lokasi di film Agak Laen turut membangun atmosfer
yang menguatkan cerita. Menarik melihat lokasi bukan sekadar “tempelan” dalam
cerita tapi juga membuat film ini menjadi lebih “bernyawa”.
Kunci yang menggerakkan cerita di film ini adalah ketika seorang calon anggota
legislatif (caleg) dari Partai Bergerigi bernama Basuki Munandar (Arif Didu)
yang punya penyakit jantung masuk ke rumah hantu dengan niat sembunyi karena
takut ketahuan istrinya sedang bersama selingkuhannya, Intan (Indah
Permatasari). Namun, naasnya, di rumah hantu tersebut ia terkena serangan
jantung dan langsung meninggal di tempat, akibat ditakut-takuti oleh Oki,
Boris, Bene, dan Jegel. Mereka takut melapor ke polisi karena Oki baru saja
keluar dari penjara, alhasil mayatnya dikuburkan begitu saja di rumah hantu
tersebut.
Pasar malam, sebagaimana taman bermain dengan beragam wahana permainan, identik
dengan kesenangan dan kegembiraan. Menggunakan pasar malam sebagai lokasi
matinya seseorang yang bahkan mayatnya dikuburkan di sana, menciptakan kontras
tajam yang menarik, karena menempatkan kematian di tempat yang penuh keceriaan.
Memang, pemilihan taman bermain atau tempat hiburan sebagai lokasi kematian
dalam film bukanlah hal yang baru. Sebut saja yang juga sangat mudah diingat
adalah film Final Destination 3 yang mengambil setting di taman bermain,
tepatnya di wahana roller coaster tempat kecelakaan terjadi. Meski bukan hal
baru, Agak Laen tetap bisa membuat setting lokasi ini tetap otentik dan
memorable. Karena pasar malam terasa “merakyat” dan relevan di masyarakat
Indonesia.
Setting lokasi ini juga turut menyemarakkan kekontrasan pada peristiwa
perselingkuhan Basuki dan Intan. Basuki, sebagai kader partai yang mencalonkan
diri sebagai calon legislatif, pastilah orang yang lumayan berkecukupan.
Alih-alih tempat yang mewah dan mahal, Basuki justru mengajak ketemu
selingkuhannya di pasar malam, tempat hiburan rakyat jelata. Tapi, bisa jadi
juga ide ia memilih tempat pertemuan yang tidak mainstream seperti itu sebagai
suatu strategi agar tidak ketahuan oleh istrinya. Ia kira istrinya tidak akan
menduga bahwa ia bertemu selingkuhan di pasar malam. Sayangnya, dugaan itu
meleset, dan istrinya ternyata ada di sana juga di waktu yang sama.
Dumb Crime, antara Kejahatan yang Bodoh atau Kebodohan yang
Jahat
Kebodohan empat sekawan ini ketika
tidak sengaja menyebabkan kematian Basuki dan menguburkannya sembarangan
mengantarkan mereka pada jeruji besi. Padahal, jelas terlihat bahwa dari empat
orang tersebut tidak ada yang secara langsung atau berniat membunuh Basuki.
Bahwa Basuki itu pada akhirnya meninggal karena sakit jantung, sebetulnya di
luar kuasa dan kehendak mereka juga. Namun, karena kebodohan mereka yang sejak
awal ditutupi oleh ketakutan akan berhadapan dengan pihak berwajib, ujungnya
tetap membuat mereka dipenjara.
Tragedi yang menjadi inti cerita inilah yang paling menyedihkan dalam film Agak
Laen. Bahwa orang bisa dipenjara tidak selalu karena melakukan kejahatan, tapi
bisa juga karena kebodohan. Hal ini juga termuat dalam dialog Mamak Oki (Rita Matu Mona) dengan
Oki.
OKI
Mamak malu punya anak sepertiku, ya?
MAMAK OKI
Kok gitu bicaramu, Nak?
OKI
Dari dulu aku ngecewain mamak terus. Belum pernah ngebahagiain mamak sekali
pun.
MAMAK OKI
Kok jadi kau yang lebih tahu perasaanku?
OKI
Aku ini narapidana, Mak. Penjahat aku, Mak
MAMAK OKI
Kau masuk penjara, itu karena kau bodoh, bukan karena kau jahat.
Dan itu kegagalanku. Maafkan mamak ya, Nak.
Foto: Mamak Oki di Film Agak Laen |
Meski bukan penjahat, tapi jelas bahwa
tindakan mereka termasuk dalam bentuk perilaku kriminal. Ini dijelaskan dalam
akhir cerita yang menyebutkan tindak pidana yang mereka lakukan yaitu,
“kelalaian yang mengakibatkan matinya orang dan mengubur mayat untuk
menyembunyikan kematian orang yang dilakukan secara bersama-sama”. Karena
tindakan kriminal itu, mereka dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun empat
bulan.
Penonton mungkin hanya melihat bahwa tindakan empat tokoh itu adalah wujud
kebodohan atau keanehan. Namun, tokoh Oki yang menyarankan tiga teman lainnya
untuk mengubur mayat tersebut di rumah hantu, membuat tindakan kriminal ini
jadi agak masuk akal. Oki diceritakan baru saja keluar penjara gara-gara
narkoba. Tentu ada kecemasan berurusan lagi dengan polisi.
Dalam buku An Introduction to Criminological Theory (2009) karya Roger Hopkins
Burke dijelaskan bahwa pikiran kriminal (criminal mind) bisa disebabkan oleh
penyesuaian emosional yang tidak berfungsi, abnormal, atau sifat kepribadian
menyimpang yang terbentuk selama sosialisasi awal dan perkembangan masa
kanak-kanak.
Memang tidak dijelaskan tentang masa kanak-kanak Oki di film ini, tapi bisa
terlihat penggalan dialog di atas, bahwa ibunya minta maaf pada Oki yang
menyiratkan bahwa perilaku Oki yang menyebabkannya jadi narapidana itu juga ada
andil dari cara ibunya mengasuhnya. Meski tidak dijelaskan masa kanak-kanaknya,
tapi penonton dapat melihat bagaimana penyimpangan kepribadian Oki dan
kesulitannya mengatasi emosi bahkan sejak awal film, di mana ada adegan Oki
memukul Pelempar Bola (Ge Pamungkas) di wahana “Lempar Kuyup” karena
terus-menerus membuatnya jatuh ke kolam.
Adegan pemukulan OKI tersebut, dan latar belakangnya sebagai mantan narapidana,
serta dirinya yang terlihat sering mudah emosi bahkan ke teman-temannya, hingga
Oki yang mencetuskan ide untuk menggadai sertifikat tanah milik ibunya, bahkan
meminjam kuburan ibunya untuk mengubur mayat Basuki, – menambah rentetan yang
menjadi penyebab masuk akal pemikiran kriminal bisa muncul dari dirinya. Namun,
sayangnya, sebagai penjahat yang memang tidak profesional, kriminalitasnya pun
tidak maksimal, – dan inilah yang menjadi letak kelucuannya.
Dumb crime atau kejahatan yang bodoh selalu menghadirkan hal yang menarik. Ini
terjadi ketika kejahatan tidak berhasil dilakukan, atau dieksekusi tapi dengan
tidak cerdas. Contoh dumb crime dalam film yang paling mudah dan cukup
memorable dilihat pada dua tokoh pencuri di film Home Alone, bukan hanya tidak
berhasil mencuri, tapi karena kebodohan-kebodohan mereka yang bisa dijebak oleh
anak kecil membuatnya menjadi lucu.
Dumb crime memang dekat dengan komedi, secara beruntun diperlihatkan betapa
empat tokoh di film Agak Laen ini tidak mengeksekusi rencana kejahatan dengan
rapi. Mulai dari tertinggalnya barang bukti berupa topi kuning milik Basuki,
mayat Basuki yang justru dikubur di rumah hantu dengan bentuk kuburan sungguhan
bukan dibuang ke tempat yang jauh hingga tak terdeteksi, hingga saat mereka
hendak memindahkan mayat tersebut ke kuburan ibu Oki, mereka justru
meninggalkan peta menuju ke sana yang menjadi jejak yang mudah dilacak polisi.
Ditambah lagi, kuburan ibu Oki tersebut ternyata berdekatan dengan pos polisi.
Tampak jelas bahwa keempat pelaku kejahatan ini memang tidak benar-benar matang
dalam melakukan kejahatan.
Membangun Empati pada Pelaku Kriminal
Dari empat karakter tokoh utama di film Agak
Laen, tampak yang punya porsi paling besar dalam penggerak arah cerita adalah
Oki. Empati kepada tokoh Oki yang jelas-jelas melakukan kebodohan yang
mengarahkan mereka pada kejahatan telah dijelaskan sebelumnya bahwa dibangun
kuat sejak pembukaan cerita.
Oki yang di awal jatuh tercebur ke kolam berulang kali saat menjadi wahana
“Lempar Kuyup” itu seolah merangkum siklus nasibnya, di mana kejahatan memicu
keberuntungan yang ternyata semu, dan selalu berujung naas, tampak tak ada
habisnya hingga akhir cerita. Kisahnya yang penuh tragedi, membuat penonton
tidak sulit untuk berempati.
Membangun empati pada pelaku kriminal mungkin bukan pertama kali dalam film.
Contoh yang cukup populer adalah film Joker. Namun, kejahatan Joker, yaitu
pembunuhan juga, ia lakukan bukan hanya pada orang yang bersalah tapi juga pada
orang-orang yang tidak bersalah serta secara sengaja, yang tetap membuatnya
menjadi tokoh villain yang sulit mendapat welas asih penuh dari penonton.
Sedikit berbeda dengan film Agak Laen, selain penonton sejak awal sudah kasihan
dengan keempat tokoh karena masalah hidup mereka, tokoh yang dimatikan di film
ini atau yang jadi korban bukanlah “orang baik”, melainkan caleg yang tukang
selingkuh, yang seharusnya sebagai calon wakil rakyat memberi contoh baik bagi
masyarakat. Ini tentu juga bukan formula baru, Si Pitung, dikisahkan juga
mencuri harta orang Belanda (penjajah) untuk dibagi ke orang miskin. Ketika
yang menjadi “korban” adalah orang yang layak mendapatkan ganjaran tersebut,
penonton pun akan senang-senang saja.
Namun, meski bukan hal baru pun, pengolahan dan pembangunan rasa empati
penonton dikemas dengan beragam gaya yang komedik, sehingga rasa kasihan atas
derita para tokohnya justru membuat penonton menertawakannya juga.
Empati penonton juga dibangun dari niat-niat baik para tokohnya, meski niatan
itu dieksekusi dengan cara yang buruk. Oki ingin merenovasi rumah hantu agar
bisa punya uang untuk berobat ibunya, tapi ia menggadaikan sertifikat tanah
milik ibunya diam-diam. Boris yang ingin jadi tentara untuk menyenangkan hati
ibunya, tapi harus menyuap oknum dan berbohong pada ibunya dengan pakai baju
tentara saat video call. Kita bisa melihat Oki dan Boris adalah orang yang
begitu sayang pada ibunya. Sementara Bene butuh uang banyak untuk menikahi
kekasihnya dan Jegel semata ingin melunasi utang-utangnya.
Awalnya, hal itu berjalan baik-baik saja. Keuntungan dari rumah hantu itu pun
bisa membuat Oki menebus kembali sertifikat tanah ibunya yang ia gadai. Boris
membuat ibunya percaya kalau anaknya sungguhan jadi tentara, Bene juga berhasil
meyakinkan keluarga pacarnya untuk menikah. Jegel pun sudah lunas semua
utangnya. Karena rasa empati dibangun dengan baik, tak heran penonton rela menunggu
hingga akhir film bagaimana keempat tokoh ini, mendapatkan ganjarannya
sekaligus menjemput bahagianya.
Humor yang Absurd: Menabrakkan Hal Banal dan Sakral
Kematian hingga proses ritual penguburan di
banyak tradisi dan kepercayaan merupakan hal yang sakral. Dalam agama Islam
misalnya saja, orang yang meninggal akan dimandikan jenazahnya lalu disalatkan,
setelah dikubur tidak lupa dibacakan doa-doa lagi. Di film Agak Laen, orang
yang meninggal justru dikubur asal-asalan, dijadikan properti dan bagian
atraksi, serta dikencingi guna memanggil arwah untuk menambah keseraman dari
rumah hantu itu.
Memang wisata makam, atau kuburan tokoh dijadikan sebagai “objek” wisata telah
lumrah adanya. Namun, bentuk kebanalan itu secara maksimal dihadirkan ketika
Jegel, yang tugasnya sebagai hantu jenis pocong di rumah hantu tersebut yang
mengencingi makam Basuki. Jadi seperti pocong bohongan mengencingi pocong
sungguhan. Dari situ suasana mencekam begitu kental karena seolah “arwah” atau
“hantu” dari Basuki jadi hadir setelah makamnya dikencingi.
Kencing di makam seseorang dianggap dalam budaya masyarakat kita sebagai
tindakan yang tindakan yang tidak sopan, dan sering kali dianggap pamali,
karena dapat menimbulkan hal-hal negatif baik bagi pelakunya maupun orang lain
di sekitarnya.
Selain itu, hal ini juga dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap orang yang
telah meninggal dan keluarganya. Pamali sendiri merupakan kepercayaan yang
berhubungan dengan larangan-larangan tertentu yang jika dilanggar, diyakini
akan membawa kesialan atau akibat buruk lainnya. Nah, di film ini hal-hal
itulah yang jelas-jelas diterabas, dan menjadikannya menarik.
Dalam humor, ini bisa dikatakan sebagai humor yang absurd. Menurut Martin
Esslin dalam bukunya The Theatre of the Absurd (1961), absurd disebut sebagai
hal yang tidak masuk akal, konyol, dan tidak beralasan. Dalam humor absurd,
lelucon dihadirkan melalui unsur-unsur yang tampak berlawanan, atau tidak
sesuai dengan realitas sehari-hari, dan bertentangan dengan logika. Adegan
mengencingi makam agar arwahnya datang dalam film Agak Laen termasuk humor
absurd, karena situasi ini menggabungkan elemen yang tidak masuk akal dan bertentangan
dengan norma-norma sosial, serta melibatkan perilaku yang aneh dan tidak logis.
Dalam konteks humor absurd di film Agak Laen, kombinasi hal kontras seperti
kuburan dengan air kencing ditabrakan dan mengejutkan penonton, tetapi justru
itulah yang membuatnya lucu. Reaksi yang tak terduga atau irasional dari
karakter dalam situasi seperti ini mencirikan humor absurd.
Di film ini, humor absurd terjalin dengan baik. Kita disodorkan keganjilan
tindakan empat sekawan itu mengubur begitu saja mayat orang yang mereka tidak
kenal di rumah hantu, bahkan lengkap dengan gundukan tanah dan batu nisan.
Mungkin maksud dan tujuannya agar tampak menyatu dengan rumah hantu tersebut,
sehingga orang berpikir itu hanyalah bagian dari properti wahana, seperti
halnya properti kerangka tengkorak yang juga ada di sana.
Keanehan semakin meningkat ketika kuburan tersebut dikencingi untuk memanggil
arwahnya. Lalu kian memuncak ketika mayat tersebut digali kembali kuburannya
untuk dipindahkan ke kuburan milik ibu Oki. Dengan kelihaian pembuat filmnya,
semua keanehan, absurditas dan ketidakmasukakalan yang ditunjukkan itu, tampak
sah-sah saja dan membuat kelucuan menjadi maksimal.
Bermain dengan Ambiguitas Saksi Bisu dalam Balutan Humor Slapstick
Ambiguitas terjadi ketika sebuah kata atau
frasa memiliki lebih dari satu makna. Dalam buku Semantic Mechanisms of Humor
(1985) yang ditulis Victor Raskin, dijelaskan bahwa ambiguitas sering terjadi
disebabkan kata-kata polisemi dan homonim.
Polisemi merujuk pada kata yang memiliki beberapa makna yang terkait atau
berhubungan. Contoh kata "kepala" bisa berarti bagian tubuh manusia
atau pemimpin suatu organisasi.
Sementara homonim adalah kata-kata yang memiliki kesamaan bentuk (ejaan atau
pengucapan) tetapi memiliki makna yang berbeda dan tidak terkait satu sama
lain. Contoh kata "bisa" dapat berarti "racun" atau
"mampu".
Inilah juga yang dituangkan Acho ke dalam konteks humornya di Film Agak Laen
melalui tokoh Obet, seorang petugas kebersihan di Pasar Malam Rawa Senggol yang
juga jadi “saksi bisu” yang benar-benar bisu atas kejahatan Oki dan
kawan-kawan.
Dalam film Agak Laen kita akan menemukan bagaimana frasa “saksi bisu” yang
biasanya ada dalam konteks tindakan kejahatan dimaknai secara harfiah juga.
“Saksi bisu” sebagai kiasan merujuk pada benda atau objek yang berada di tempat
kejadian dan "menyaksikan" kejahatan tersebut tanpa dapat berbicara
atau memberikan kesaksian.
Muhadkly Acho menempatkan kiasan frasa tersebut dalam wujud sebenarnya, yaitu
Obet, seorang saksi yang bisu (tuna wicara) yang diperankan oleh Sadana Agung.
Memang Obet tidak menjadi saksi langsung saat kematian Basuki, namun ia
mendengar percakapan keempat tokoh ketika hendak merencanakan pemindahan mayat
tersebut. Ambiguitas ini juga dilekatkan pada adegan ketika empat tokoh itu ingin menyuap
Obet agar tidak buka mulut. Namun aksi kejar-kejaran antara keempatnya dengan
Obet memberikan sensasi kelucuan tersendiri.
Di sinilah humor slapstick yang klasik dihadirkan, konsep lelucon yang
melibatkan kekerasan dan kepedihan. Sederhananya slapstick merupakan kekerasan
dan rasa sakit yang dialami orang lain yang direspons dengan tawa, – sebuah
konsep kegembiraan atas kemalangan orang lain. Biasanya konsep ini dimainkan
dalam seni pertunjukan.
Contoh gampangnya adalah ketika ada orang terpeleset, dan kita menertawakannya.
Di satu sisi, adegan ini mungkin saja bisa membuat orang menilai bahwa tokoh
Obet yang jatuh dari bianglala sebagai lelucon yang dangkal atau humor yang
tidak bermoral, sudahlah bisu, dibuat celaka pula. Tapi, memang karena film ini
bertabur berbagai kebanalan, jadi tentu agak terlalu jauh jika dikaitkan ke
persoalan moral.
Karena, di satu sisi juga, slapstick memang masih digemari. Louise Peacock
menjelaskan dalam bukunya Slapstick and Comic Performance: Comedy and Pain
(2014), bahwa mengapa orang menyukai slapstick karena itu naluriah, dan memang
sudah tertanam sejak dini. Ia contohkan dengan bagaimana sebagai anak-anak,
kita menertawakan Tom and Jerry. Itulah mengapa ia katakan sebagai bentuk
hiburan, slapstick memang masih menarik, Louise Peacock menambahkan dalam buku
itu bahwa sebagai orang dewasa, menonton slapstick dapat mengingatkan kita pada
masa kecil, sehingga menontonnya saat dewasa diwarnai nuansa nostalgia; kita
tertawa saat ini, tapi kita juga mengingat tawa diri kita sewaktu masih
anak-anak.
Namun, menariknya, Acho mengolah slapstick tanpa ada tokoh yang mencelakai atau
menyakiti Obet. Tidak ada adegan pukul-pukulan atau kekerasan yang dilakukan
oleh keempat sekawan tersebut. Jatuhnya Obet semata karena dirinya sendiri yang
begitu panik manjat bianglala hingga terjatuh sendiri.
Situasi kesalahpahaman yang memunculkan ketakutan di diri Obet juga dapat
dipahami, karena tampak keempat sekawan membawa perkakas yang tampak
“mencurigakan”. Sehingga, wajar bagi Obet untuk merasa takut dihampiri dan
dikejar oleh para pelaku kejahatan. Tujuan Obet naik bianglala semata tidak mau
celaka. Namun, kenyataan berkata lain.
Adegan humor slapstick yang cukup memorable itu dilanjutkan secara apik dengan
meleburkan ambiguitas “saksi bisu” pada tokoh Obet. Sebagai saksi yang bisu,
tentu Obet sebenarnya masih bisa memberikan kesaksiannya. Hanya saja Obet
terjatuh dari bianglala yang mengakibatkan nyaris seluruh tubuhnya diperban,
sehingga tidak bisa dimintai keterangan apa pun. Ini membuatnya yang tadinya
“saksi bisu” secara harfiah, menjadi “saksi bisu” yang kiasan.
Memotret Satir dan Parodi dalam Impian Jadi Tentara
Satir dalam komedi, sederhananya adalah humor
yang mengandung kritik sosial. Ini juga dihadirkan di film Agak Laen melalui
adegan Boris yang menyuap oknum untuk memuluskan jalannya menjadi tentara.
Adegan seperti ini termasuk humor satir karena mengkritik atau menyindir
perilaku, institusi, atau situasi sosial yang dianggap salah atau tidak etis.
Namun, alih-alih menciptakan standar moral tinggi yang menyindir praktik
suap-menyuap dalam instansi, di film ini, adegan itu bukan untuk “berteriak”
ingin mengubah situasi, namun mengajak penonton, untuk menertawakannya.
Karena, tokoh oknum tentara (Soleh Solihun) memaparkan ujian praktik seperti
jauh-jauhan meludah untuk bisa lulus, hingga perlunya tambahan uang lagi jika
Boris ingin dibangunkan saat pelatihan tentara dengan cara baik-baik. Sindiran
ini dikemas dengan baik menjadi sesuatu yang lucu. Tidak bisa dimungkiri memang
menjadi tentara masih jadi impian bagi sebagian orang dan masih banyak juga
yang percaya bahwa praktik-praktik penyogokan dapat memuluskan jalan masuk
menjadi tentara. Mirisnya, masih ada juga yang mempercayai penyogokan tersebut
seperti halnya Boris di film ini.
Humor berbentuk parodi juga hadir dan terkait dengan impian Boris menjadi
tentara ini. Dalam sebuah adegan ketika Boris melakukan video call dengan
ibunya, bukan hanya berbohong memakai baju tentara saat itu agar ibunya
percaya, tapi untuk lebih meyakinkan, ia juga meminta Bene dan Jegel memakai
baju tentara juga dan berlagak seolah-olah sedang latihan baris-berbaris. Saat
ibunya meminta Boris memberi perintah pada Jegel dan Bene yang dikatakan
sebagai anak buahnya, Boris pun mengiyakan. Boris memerintahkan mereka untuk
saling tampar.
Ini menjadi bagian dari humor parodi. Dalam buku The Language of Humour (1998)
yang ditulis Alison Ross, parodi merupakan peniruan bentuk gaya yang
dibesar-besarkan atau didistorsi. Konteks lucunya ada pada kepura-puraan
ketiganya menjadi tentara dan Bene dan Jegel yang nurut perintah Boris untuk
saling menampar seolah mengolok-ngolok pelatihan militer. Seperti kita ketahui,
pendidikan militer rentan dengan penggemblengan fisik. Peniruan situasi militer
dengan adegan yang dibuat-buat itu, jadi khas humor parodi yang mengundang
tawa.
Ironi, Kontradiksi Harapan dan Realitas
Buku The Concept of Irony, with Continual
Reference to Socrates (1990) yang ditulis Søren Kierkegaard, menjelaskan
mengenai ironi, yang berayun antara "Aku" yang ideal dan
"Aku" yang empiris. Bahwa ada benturan antara subjektivitas dan
objektivitas, antara kenyataan dan harapan. Hal ini seperti yang dialami empat
tokoh di film Agak Laen yang menganggap bahwa tindakan mereka adalah hal yang
tepat, dari mengubur mayat, menjadikannya atraksi, hingga memindahkannya,
nyatanya membawa konsekuensi yang jelas tidak mereka diinginkan.
Kita melihat satu per satu keinginan yang awalnya tampak berjalan mulus,
perlahan terbentur dengan kenyataan yang menghadang di depan mata. Boris yang
sudah membayar sejumlah uang kepada oknum untuk jadi tentara, Oki yang berhasil
menebus surat tanah ibunya yang digadainya, Bene yang selangkah lagi menikahi
pujaan hati, serta Jegel yang berpikir akan menjadi manusia bebas utang,
nyatanya jalan keempatnya berakhir di penjara.
Sama seperti dalam konsep ironi di buku Kierkegaard, ironi di film ini
menggambarkan ketidaksesuaian antara apa yang diyakini seseorang dengan
kenyataan yang sebenarnya. Keempat tokoh dalam film Agak Laen berusaha
melarikan diri dari konsekuensi kejahatan mereka dengan cara yang tidak
konvensional, tetapi justru menjadi lebih terjerat dalam konsekuensi yang lebih
parah.
Ironi tidak hanya terletak pada ketidaksesuaian antara tindakan dan hasil,
tetapi juga pada pemahaman yang terbatas dan sering kali salah dari para tokoh
tentang kemampuan mereka untuk mengendalikan situasi.
Tindakan irasional dari keempat tokoh hingga ketimpangan antara harapan dan
kenyataan yang mereka alami, menghadirkan efek lucu yang unik. Ketika
kejahatan, kemalangan, dan hukuman, sambung-menyambung dirangkai dalam
adegan-adegan yang absurd, berhasil memantik gelak tawa beruntun.
Meski tampak begitu menghibur, namun film ini juga menghadirkan konteks sosial
yang relevan yang mendorong kita untuk berefleksi secara kritis. Mulai dari
kebodohan yang mengantarkan pada kejahatan dan hukuman, tokoh calon wakil
rakyat yang tidak memberi contoh baik bagi masyarakat, hingga oknum instansi
yang melanggengkan praktik penyelewengan, serta bagaimana kesakralan dan
kebanalan ditabrakan dan sudah kian tidak diindahkan dalam keseharian.
Penutup
Premis yang jelas, cerita yang menarik, setting yang apik, dan plot yang epik
sayangnya kurang didukung akting yang mumpuni dari para pemainnya. Mungkin
karena pada dasarnya mereka memang para standup comedian yang belum lama
berpengalaman sebagai aktor. Terlihat masih ada kekakuan dalam berdialog dan
beradegan yang untungnya tertutupi oleh kekuatan lainnya dalam film ini. Namun,
tentunya jalan mereka untuk terus berlatih dan berproses serta menimba
pengalaman sebagai aktor masih panjang dan jauh terbentang.
Melihat film Agak Laen yang sukses dari segi cerita dan jumlah penonton,
tampaknya ada harapan bagi film Indonesia untuk membuat film bergenre komedi
horor lainnya yang sama bagus atau lebih bagus lagi, yang tentunya juga bisa
dinikmati banyak orang.
Menggabungkan beragam tipe humor yang saling bertumpang tindih menjadikan film
Agak Laen sebagai film komedi dengan sajian humor yang lengkap. Tentu ini layak
membuatnya mendapat jumlah penonton yang banyak hingga dinanti sekuelnya oleh
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Aristoteles. 1819. Aristotle's Poetics: Literally Translated, with Explanatory Notes and An Analysis. London: G. and W.B. Whittaker.
Bevis, Matthew. 2013. Comedy: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press.
Burke, Roger Hopkins. 2009. An Introduction to Criminological Theory. Cullompton: Willan Publishing.
Esslin, Martin. 1961. The Theatre of the Absurd. New York: Anchor Books.
Heywood, Thomas. 1841. An Apology for Actors: In Three Books. London: Shakespeare Society.
Kierkegaard, Søren. 1990. The Concept of Irony, with Continual Reference to Socrates. Princeton: Princeton University Press.
Mukherji, Subha & Lyne, Raphael. (Eds.). 2007. Early Modern Tragicomedy. Cambridge: D.S. Brewer.
Peacock, Louise. 2014. Slapstick and Comic Performance: Comedy and Pain. London: Palgrave Macmillan.
Raskin, Victor. 1985. Semantic Mechanisms of Humor. Dordrecht: D. Reidel Publishing.
Ross, Alison. 1998. The Language of Humour. London: Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar