Foto: imdb.com |
Kebebasan dan kemerdekaan tidak pernah menjadi sesuatu yang terberikan cuma-cuma atau begitu saja. Karena bukan pemberian, kebebasan dan kemerdekaan adalah suatu hal yang perlu diupayakan dan diperjuangan; tentu juga dirayakan – pada akhirnya.
See the Unseen, Hear the Unheard
Foto: imdb.com |
Sejak awal menonton film Yuni, kita melihat hal-hal yang mungkin
jarang ditampilkan di film Indonesia terutama film remajanya. Adegan film ini
dibuka dengan Yuni (Arawinda Kirana) yang sedang memakai celana dalam dan bra. Belum lagi kita juga akan
melihat bagaimana Yuni memakai pembalut di toilet sekolah. Kita melihat
bagaimana pubertas pada remaja perempuan khususnya, berlangsung dalam tubuh
Yuni.
Hanya saja, Yuni menjalani keremajaan itu
dengan tantangan-tantangan yang di luar jangkauan usianya, yaitu pernikahan.
Pernikahan yang tentunya terlalu dini untuk dialami oleh
remaja seusia dirinya.
Ada satu contoh temannya, yaitu Tika (Anne Yasmine) yang sudah mengalaminya dan menceritakan betapa tidak mengenakkannya pernikahan dini yang ia jalani. Mulai dari sakit saat melahirkan, hingga suaminya yang tidak bantu mengurus anak, sampai dirinya yang tidak pernah merasakan orgasme.
Ini ia
ungkapkan saat terjadi percakapan seputar seksualitas di rerumputan di mana
Yuni dan teman-temannya berbaring sambil bercakap-cakap. Di situ Tika bilang tidak
tahu seperti apa rasanya orgasme, dan dia menyarankan kalau mau tahu rasanya,
coba untuk masturbasi. Dan informasi tentang "cara masturbasi untuk perempuan"
pun dicari oleh Yuni saat dia di rumah dengan mencarinya di internet. Yang langsung dipraktikkannya saat itu juga.
Nyaris semua dialog di film ini sungguh menegaskan
kebingungan Yuni, yang sesungguhnya sangat khas remaja, terutama remaja yang akan lulus
Sekolah Menengah Atas (SMA) dan bingung akan cita-cita serta arah hidupnya. Tampak dari dialog
Yuni dan Ibunya via telepon.
Yuni: Tadi Bu Lis tanya Yuni, mau terusin ke
perguruan tinggi atau nggak. Katanya suruh diobrolin sama ibu bapak.
Ibu Yuni: Oh gitu. emang kamu mau terusin ke
perguruan tinggi.
Yuni: Ya pengin sih.
Tapi keinginan Yuni ini tidak tampak sebagai sesuatu yang dia perjuangkan habis-habisan, melainkan masih tenggelam dalam kebingungan. Yang tentunya sangat lumrah sekali dialami oleh para remaja di mana buta akan kehidupan kuliah, bingung ingin pilih jurusan, dan langkah selanjutnya yang berkaitan dengan masa depan.
Seperti halnya dialog ini dilanjutkan sendiri
oleh Yuni yang mempertegas kebingungan dirinya.
Yuni: Masih bingung juga. Soalnya kalo gak
nerusin kuliah, terus ngapain?
Ibu Yuni: Bisa kerja di pabrik. atau ngajar PAUD
Bu Ida.
Yuni: Selain itu?
Di sini ketika Yuni menanyakan adakah pilihan
selain itu, ibunya justru tidak menjawab dan hanya mengatakan bahwa yang
penting jangan jadi TKW (Tenaga Kerja Wanita), jangan jadi pembantu. Cukup ibu
dan bapaknya yang kerja seperti itu. Ini sebetulnya menandakan bahwa orang tua
Yuni tentu juga menginginkan Yuni memiliki masa depan yang lebih baik dari mereka,
orang tuanya.
Lalu saat Yuni bertanya kalau bapaknya lebih ingin Yuni bagaimana, ibunya menjawab bapaknya ingin Yuni lanjut kuliah. Biar jadi pegawai. Ibunya juga sempat bertanya, “kalau mau jadi penyanyi harus sekolah musik, Yun?”
Dialog di telepon antara Yuni dengan ibunya ini saat Yuni sedang mencuci baju sebetulnya sesuatu yang menarik. Di satu sisi, keinginan kuliah Yuni didukung oleh bapaknya. Di satu sisi, ibunya juga mempertanyakan soal “menjadi penyanyi” yang berarti ibunya tahu apa kesenangan dan kebisaan Yuni.
Karena Yuni pun mengaku memang ingin kuliah antara jurusan Fisika atau Musik, di mana di dua bidang itulah dia punya nilai yang cukup mumpuni. Dialog ini sebenarnya terjadi dua arah, tidak ada pemaksaan dari pihak ibunya yang melarang betul-betul Yuni untuk melanjutkan kuliah, juga tidak ada singgungan sedikit pun soal menikah saja setelah lulus sekolah.
Ibunya masih membuka kemungkinan lain, kalaupun tidak kuliah, ya bekerja. Namun, hal itu perlahan berubah ketika para pria mulai tiba-tiba melamar Yuni. Karena ada pamali yang katanya kalau menolak lamaran sampai tiga kali akan susah kelak mendapatkan jodoh.
Diskursus yang Tidak Terwujud dalam Dialog
Ada dua adegan di mana Yuni bicara cukup Panjang
dengan ibunya melalui telepon. Yang pertama adalah yang sudah dijelaskan di
atas, ketika Yuni bingung mau kuliah atau apa. Yang kedua terjadi ketika Yuni
tiba-tiba dilamar Iman, saudara Wa Tardi, tetangga depan rumahnya.
Seolah percakapan pertama di telepon itu
menguap begitu saja bersama angin, tidak masuk ke dalam telinga ibunya Yuni.
Ibunya
cuma bingung kenapa orang yang baru kenal Yuni langsung melamar. Begini dialog
mereka.
Ibu
Yuni: Lalu gimana? Kamu gak mau nikah?
Yuni:
Yuni gak pernah mikirin nikah, Bu. Mikirin pacaran aja gak.
Ibu
Yuni: Emangnya rencana kamu apa?
Di
sini tampak betul bahwa ibu Yuni tidak pernah benar-benar peduli pada keinginan
anaknya yang pernah diutarakan, walau memang tidak terlalu lantang.
Di sini juga Yuni tampak terdiam sejenak, dan hanya menjawab.
Yuni: Ya
Yuni juga gak tau, Bu. Yuni masih ingin coba banyak hal. Mau lulus, mau nerusin
sekolah lagi kayaknya.
Ibu
Yuni: Tapi masih bingung kan mau masuk jurusan apa?
Kebingungan yang sebaiknya bisa dibantu atau diarahkan oleh orang tua, justru membuat remaja seperti Yuni semakin bingung dan tambah clueless. Yuni balik bertanya lagi apakah ibu dan bapaknya memang ingin dia menikah. Ibunya cuma menjawab bahwa tidak menyangka anaknya akan dilamar secapat itu.
Ibunya
pun memberikan kesempatan Yuni untuk memikirkan sendiri apa yang terbaik untuk
Yuni.
Belenggu yang Samar Tetaplah Sebuah Pasungan
Kita tidak melihat sosok pemuka agama yang
radikal di film ini. Agama tampil tidak terlalu menonjol. Bahkan dari
simbol-simbol yang dihadirkannya. Berbeda misalnya dengan film Perempuan Berkalung
Sorban yang memang bahkan dari judul serta posternya saja membawa atribut keagamaan tertentu.
Di film Yuni kita akan dengan mudahnya melihat
bahwa unsur agama sebenarnya tidak sekental atau sedalam itu.
Seperti misalnya dari Yuni dan teman-temannya
yang hanya pakai kerudung saat di sekolah atau dari nenek Yuni yang bahkan
berkerudung dan juga merokok serta pakai daster lengan pendek.
Tapi, bahkan yang tampak tidak radikal pun
bukan berarti tidak membahayakan. Terlihat bagaimana niatan Mang Dodi yang
ingin poligami padahal sudah kakek-kakek. Belum lagi bagaimana dia memandang
keperawanan sebagai sesuatu yang menambah "value" Yuni sebagai
perempuan sampai dia mau menambah "harga" Yuni sebesar dua kali lipat
dari mahar yang diberikan (total Rp50 juta) jika di malam pertama Yuni
ternyata masih perawan.
Kerumitan yang dirasakan perempuan melalui
tubuh, pikiran, dan perasaannya mungkin bisa juga kita temui dalam film seperti
Pieces of a Woman (2020) atau Marriage Story (2019), hanya saja, tentu tantangan
Yuni sebagai perempuan Indonesia jauh lebih berlapis.
Gempuran itu datang dari norma agama, sosial, adat,
kepercayaan, dan lain sebagainya yang membuat kondisi seorang perempuan di
Indonesia bisa sangat terepresi. Sedikit diangkat juga tentang bagaimana isu keperawanan mencuat ketika sekolah Yuni hendak mengadakan tes keperawanan, hingga Mang Dodi yang melipatgandakan mahar asalkan Yuni masih perawan. Sedangkan tokoh perempuan-perempuan di film luar negeri saat ini tentu tidak perlu mengalami perendahan harkat dan derajat hanya semata-mata "sudah tidak perawan".
Di film ini kita akan melihat beragam selubung samar itu menjadi tantangan bagi Yuni dan tokoh-tokoh perempuan lainnya di film ini, Tika yang menjadi ibu muda yang tidak dibantu oleh suaminya dalam mengurus anak dan belum pernah merasakan orgasme sejak menikah, Sarah yang dipaksa menikah muda dengan pacarnya oleh masyarakat yang memergoki mereka berduaan, Suci yang mengalami KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) oleh suaminya, juga Asih yang memilih menjadi pribadi dengan gender yang berbeda, tapi hidupnya terasingkan oleh keluarganya. Bahkan Bu Lilis, yang tidak didukung oleh Kepala Sekolah ketika ingin membantu muridnya (terutama perempuan) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Kita melihat bagaimana Kepala Sekolah di sekolah Yuni menasihati Bu Lilis untuk tidak mengiming-imingi beasiswa kuliah kepada siswanya, terutama perempuan. Yuni, bukan hanya terbatasi oleh tidak adanya dukungan dari keluarga, tapi juga bahkan dari institusi pendidikan tempatnya menimba ilmu.
Ketika
Yuni Berbicara Melalui Tubuhnya
Foto: imdb.com |
Yuni
gemar bernyanyi, tapi di sekolahnya kegiatan musik ditiadakan karena alasan suara
adalah aurat. Suara di sini menjadi luas cakupannya, yaitu juga sebuah
pendapat, gagasan, pikiran. Tentu tampak jelas bagaimana dari awal sampai akhir keinginan
Yuni ingin kuliah seolah tak ada yang betul-betul mendengarnya.
Bicara
soal bagaimana tubuh perempuan dan pengalaman perempuan yang berbeda dan perlu
diangkat sebagai cara perempuan untuk bersuara, dilihat dan didengar, tentu
tidak bisa lepas dari apa yang diperjuangkan oleh para feminis postmodern,
salah satunya filsuf Helene Cixous.
Unheard
dan unseen tidak jauh berbeda, menurut Cixous dalam bukunya, keduanya merupakan istilah
untuk mengungkapkan "pembacaan" pada sesuatu yang "tidak terbaca", yang dapat
terletak pada kerapuhan, namun itulah yang menjadi sebuah penemuan, invention (Cixous, 1998).
Di film Yuni, elemen-elemen seperti pembalut, celana dalam, dan bra yang ditampilkan
secara lugas, turut membangun cerita, membantu “menjernihkan” hal-hal yang
tampak “berkabut” sejak awal.
Ketika
Yuni perlahan menemukan dirinya, dalam kalimatnya jelas, walau dia tidak tahu
di masa depan dia ingin jadi apa, yang jelas tidak ingin suram. Hanya saja
keinginan-keinginan itu tidak benar-benar dipahami oleh orang-orang di
sekitarnya. Sehingga orang-orang masih saja terus bertanya, “Yuni rencananya
apa?”
Cixous
juga menyebutkan dalam bukunya Laugh of Medusa (1976) tentang tubuh
perempuan harus didengar, yang ia jabarkan dapat dilakukan dengan menulis, atau
seksualitas. Karena tubuhnya itulah yang bisa dijadikan media perjuangannya. Di
sini Yuni memang tidak berjuang melalui tulisan, tapi itulah yang dilakukan
oleh Kamila Andini selaku sutradara dan penulis naskah film ini. Melalui
karyanya inilah cara Kamila Andini juga “bersuara”.
Sementara
tubuh Yuni jelas sekali dari beberapa adegan di film ini, mulai dari bagaimana
dia menolak lamaran-lamaran, bagaimana dia dengan secara sadar dan
sengaja berhubungan seksual dengan teman sekolahnya yang menaruh hati padanya, Yoga (Kevin Ardilova) di sebuah ruangan
kosong.
Saat itu Yuni, menghampiri Yoga terlebih dulu, di mana Yoga hanya terdiam, dan Yuni juga yang mengarahkan tangan pria itu ke payudaranya. Ditambah juga adegan saat Yuni masturbasi. Di sini pemikiran Yuni akan kebebasan termanifestasi melalui tubuhnya. dengan menghancurkan sensor, –ya Kamila bahkan mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Magdalene.co bahwa tidak ada yang dihilangkan dari naskahnya–, dia berhasil mengartikulasikan limpahan makna yang mengalir ke segala arah.
Ketika hidup dalam lingkungan dengan budaya yang cenderung represif, diam tentu bukan menjadi jalan keluar. Yuni
sudah mengupayakan banyak hal agar dirinya didengar, tapi orang-orang di
sekitarnya masih saja menganggap Yuni sebagai hal yang tidak
"terbaca".
Meski berbicara melalui tubuh dan aspek seksualitas, tubuh yang menjadi sarana Yuni untuk berbicara tidak menjadi suatu hal yang vulgar, melainkan puitis; poetic body dalam istilah Cixous), karena tubuh di sini menjadi sebuah
penanda (signifier). Di sinilah bahasa menjadi sesuatu hal yang sublim.
Ketika
tubuh yang menjadi narasi, menjadi teks yang bicara (speak) bukan lagi hanya terlihat
(seen) tapi juga terdengar (heard).
Yuni
yang tampak memakai celana dalam dan bra, Yuni yang terlihat mengenakan
pembalut, Yuni yang masturbasi, Yuni yang menghampiri Yoga untuk berhubungan
seksual, bukanlah adegan-adegan sensual yang semata “kosong” tetapi inilah cara
Yuni “berbicara” melalui tubuhnya. Inilah jouissance seperti yang dikatakan
oleh Cixous.
Cixous
mengaitkan jouissance sebagai kesenangan atau gairah seksual perempuan, yang
tergabung dalam aspek mental, fisik, dan spiritual, yang justru menjadi sumber
kekuatan kreatif seorang perempuan untuk menemukan sepenuhnya "suara" mereka.
Usai berhubungan
badan dengan Yoga, Yuni pun mengutarakan hal-hal yang ingin dia suarakan. Tentang
keresahan dia. Bagaimana dia merespon soal pamali ketika hendak menolak lamaran
kedua, dengan jelas dia bilang tidak mau dimadu, apalagi dengan kakek-kakek.
Dan
bagaimana juga dia mengeluh tentang dirinya yang tidak bisa menceritakan semua
itu kepada keluarga dan teman-temannya. Karena akan selalu ditanya balik, “apa
cita-citanya”, di saat dia pun juga tidak tahu mau jadi apa, yang dia tahu
pasti hanya tidak mau masa depannya suram.
Namun, di balik semua kebingungan Yuni, kita juga akan melihat dan mendengar, bagaimana dia menolak lamaran-lamaran itu dengan tegas. Kepada Iman, dia bilang dia tidak mau menikah dengan Iman. Kepada Mang Dodi, Yuni bilang dirinya sudah tidak perawan agar tidak dinikahi. Kepada Pak Damar, Yuni kabur dari rumahnya di saat acara pernikahan.
Semua keputusan itu diambil Yuni sendirian. Tidak ada bantuan dari
keluarganya untuk ikut menolak lamaran tersebut. Menarik melihat bagaimana Yuni
yang masih gamang soal masa depannya, tapi punya ketegasan yang dia bangun
sendiri soal beragam lamaran yang tidak jelas tersebut.
Tubuh Yuni yang sudah sangat puitis sejak awal, sempurna puitisnya pada bagian ending film, berjalan sendiri di atas pasir. Di atas tanah yang penuh kerikil dan tampak tidak rata, dengan baju pengantin warna ungu serta diguyur hujan di tengah lapang sambil diiringi puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Hujan Bulan Juni, sungguh mewakili tindakan Yuni saat itu. Di mana dia melangkah tanpa keraguan, –dan tanpa perlu berucap apa-apa lagi.
Tak ada yang lebih tabah
dari
hujan bulan Juni
Dirahasiakannya
rintik rindunya
Kepada
pohon berbunga itu
Tak
ada yang lebih bijak
dari
hujan bulan Juni
dihapusnya
jejak-jejak kakinya
yang
ragu-ragu di jalan itu
Tak
ada yang lebih arif
dari
hujan bulan Juni
dibiarkannya
yang tak terucapkan
diserap
akar pohon bunga itu
Cixous, Helene. 1976. The Laugh of Medusa. Chicago: The University of Chicago Press.
Haiiii, wahhh udah lama aku ga kesini mba sehat <3 semoga sehat selalu
BalasHapusaku belum nonton yuni, tadinya pengeen eh tiba2 kontroversi gitu jadi ga nonton