Ketika
kewarasan dan kegilaan melebur, kemanusiaan terkubur, ketuhanan justru menderas
muncul. Itu yang tampak jelas dalam film berjudul Balada Sepasang Kekasih Gila yang diangkat dari novel berjudul sama
yang ditulis oleh Han Gagas.
Film
ini disutradarai oleh Anggy Umbara dan dibintangi oleh Denny Sumargo sebagai
Jarot dan Sara Fajira sebagai Lastri. Jarot dan Lastri diceritakan sebagai Orang
Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang sudah tidak memiliki keluarga, tidak diterima
masyarakat, kemudian saling jatuh cinta dan menikah, tapi sayangnya kisah romansa
mereka harus berakhir tragis.
Ketimpangan Relasi Kuasa yang Membuat ODGJ Selalu Kalah
Tidak banyak film Indonesia yang mengangkat karakter
ODGJ apalagi dijadikan sebagai peran utama. Mari kita lihat dari beberapa film
yang rilis tidak jauh dari film Balada
Sepasang Kekasih Gila yaitu Tak Ada
yang Gila di Kota Ini (2019) dan film Selesai
(2021).
Film Tak
Ada yang Gila di Kota Ini merupakan karya sutradara Wregas Bhanuteja yang
diadaptasi dari cerpen Eka Kurniawan. ODGJ dalam film ini terlihat disingkirkan
sekaligus diperalat dengan menjadi objek pertunjukan yang memungut bayaran
lumayan mahal dari para penontonnya yang mayoritas adalah turis asing.
Sementara di film Selesai, yang disutradari oleh Tompi, isu gangguan jiwa memang
tidak menjadi isu utama dalam filmnya, hanya saja tokoh utama diperlihatkan
berada di rumah sakit jiwa karena tekanan batin akibat ulah suami yang selalu
selingkuh. ODGJ selalu menjadi orang yang kalah, berada di level yang lebih
rendah dari orang-orang “normal”.
Untuk melengkapi pengalaman menonton Balada Sepasang Kekasih Gila, saya rasa
penonton perlu menonton film dokumenter berjudul Memory of My Face
(2019) produksi Elemental Productions.
Dalam film itu, sosok Bambang seorang ODGJ pengidap
schizoaffective disorder bercerita
tentang pengalamannya bagaimana dia awalnya sakit mental, yaitu ketika putus
cinta dari cinta pertamanya, dan bagaimana dia juga memiliki keinginan untuk
sembuh serta ingin mencari uang untuk membelikan buku untuk anaknya agar
anaknya gemar membaca karena menurut Bambang hal itu penting untuk masa depan
anaknya.
Film dokumenter ini menceritakan adanya sebuah
upaya, kesadaran dari ODGJ untuk memiliki kehidupan yang normal yang sayangnya
itu tidak ditemukan di film Balada
Sepasang Kekasih Gila. Memang keduanya memiliki muatan isu yang agak
berbeda.
Tapi, bukankah berakar dari kepedulian yang
sama? Bahwa ODGJ punya derajat yang sama, bahwa kesadaran masyarakat perlu
ditingkatkan untuk bisa menerima ODGJ di lingkungannya, dan bahwa ODGJ perlu
diperlakukan dengan manusiawi seperti layaknya manusia lainnya.
Selalu ada kenyataan yang sengaja
"dihidupkan" dalam sebuah film, demi realitas yang dibutuhkan untuk
dibangun, bahkan dalam film dokumenter sekalipun. Sayangnya, kenyataan dalam
film Balada Sepasang Kekasih Gila tidak
berupaya untuk memberi harapan bahwa ODGJ punya harapan atau punya kesempatan
untuk bisa memperbaiki hidupnya. Agar ODGJ tidak melulu ditampilkan sebagai
orang yang hanya bisa kalah.
Padahal, sepertinya bisa cukup menarik
jika ada sedikit cerita bagaimana Jarot dan Lastri mencoba untuk tidak melulu
kalah. Apalagi Jarot yang sudah dinyatakan sembuh dengan jelas. Mungkin akan
semakin menarik jika diperlihatkan adanya upaya mereka untuk bisa diterima di
masyarakat atau pun upaya dari pihak masyarakat yang mencoba menerima mereka.
Sejak awal, sampai film berakhir,
diskursus antar keduanya tidak pernah ada, karena yang tampil hanya selalu benturan
dan pertentangan antara Jarot dan Lastri yang ODGJ dengan masyarakat yang “normal”.
Bukankah akan lebih baik dan juga menarik jika diperlihatkan adanya tujuan kuat
dari karakter serta perkembangan karakter, begitu pun perkembangan dunia di
sekitarnya yang terus menerus melawan dan menolak mereka. Akan tetapi, itu
tidak tampak dalam film ini.
Hanya ada satu adegan di mana
segelintir orang mau mengakui mereka, yaitu ketika mereka hendak menikah di
hadapan penghulu. Mereka dinikahkan sebagaimana mestinya. Mungkin, apakah
memang hanya orang beragama yang punya nurani untuk berbuat kebaikan terhadap
mereka? Rasanya, film ini masih menyimpan kenaifan semacam itu.
Padahal, sejak awal, diperlihatkan
bagaimana Jarot kelaparan di jalan, tapi tidak ada yang mau memberikannya makan
dan sampai akhir tidak jelas bagaimana Jarot keluar dari masalah kelaparannya
itu. Seolah ketika dia menikah dengan Lastri, dia tidak lagi pusing soal rasa
lapar lagi.
Tapi ya balik lagi misinya mungkin
memang ingin memperlihatkan bahwa mereka yang sudah terpinggir akan terus
terusir. Bahkan ketika mereka tinggal di kuburan di mana itu adalah tempatnya
orang mati, masih saja mereka harus tergusur.
Jadi, tidak perlu heran jika kedua orang yang jelas-jelas kalah di awal cerita terlihat
hanya akan terus menerus kalah sampai akhir cerita. Satu-satunya yang berhasil
mereka menangkan adalah mereka berhasil bertemu lagi setelah sempat terpisah,
mereka bisa bersama bahkan menikah. Mungkin kemenangan lainnya adalah kedua
pasangan ini bahagia di alam yang lain karena
tampak gambar Jarot dan Lastri yang bergandengan tangan dengan bahagia, di
penutup film.
Kebahagiaan yang
didapat di alam lain ini diperkuat dengan suara narator (yang sejak
awal dikisahkan sebagai anaknya yang ternyata adalah anak yang tidak sempat
terlahirkan ke dunia) ketika adegan Jarot dan Lastri yang (sepertinya)
meninggal di kuburan yang menjadi tempat tinggal mereka itu, mengatakan, “kami
pun sadar bahwa hal ini adalah yang terbaik untuk kita semua demi mendapatkan
kebahagian sejati, nanti.” Bagian ini juga semakin menekankan aspek
spiritualitas dan ketuhanan yang memang ditampilkan dari kedua karakter dalam
film ini.
Kentalnya
Spiritualitas dan Konsep Ketuhanan di Tengah
Kebanalan
Sulit sekali rasanya membayangkan
Jarot dan Lastri adalah dua manusia tak berakar yang lepas dari segala bentuk
ikatan masa lalu dan latar belakangnya. Karena berbagai atribut identitas masih
begitu melekat dari berbagai potongan dialog dan gestur karakter yang menurut
saya amat disayangkan tidak ada penjelasan tentang bagasi seperti apa yang
mereka bawa. Mungkin tidak penting bagi pembuat film karena pastinya akan
sangat memperpanjang durasi.
Lastri mengaku dirinya beragama
Kristen dan menyimpan Alkitab, sementara Jarot ketika ingin menolong Lastri
dari orang-orang yang memaksanya kembali ke tempat pelacuran mengatakan, “Menyelamatkan
satu manusia itu sama halnya dengan menyelamatkan seribu umat manusia, itu kata
bapakku”. Kalimat ini merupakan bagian dari tafsir Al Quran Surat Al-Ma’idah
Ayat 32. Jarot
juga memilih menikahi Lastri karena dia takut berdosa kalau zina.
Konsep ketuhanan semakin
kental terasa ketika suara narator yang sejak awal sampai akhir terdengar
seperti ceramah. Narator mengucapkan kata-kata yang kurang lebih berbunyi “ketika
kita mengenal diri kita berarti kita mengenal Tuhan kita”, ketika Jarot
kelaparan menyusuri gang-gang sempit dan diusir pemilik warung yang bahkan
lebih memilih memberi makan kucing dibanding dirinya. Jarot terus berjalan
sampai dia di hutan berdialog dengan “Pelayan Tuhan” dan di sawah merasa bisa melihat Tuhan.
Berbagai unsur
ini semakin memperlihatkan bahwa di tengah dehumanisasi yang menimpa Jarot dan
Lastri, ketuhanan masih menjadi sandaran yang diandalkan. Entah
mengapa solusi dari kemanusiaan yang biadab masih dimuarakan pada persoalan
ketuhanan. Seolah dengan bersandar pada pengalaman ketuhanan maka permasalahan
dehumanisasi yang dialami ODGJ dapat selesai.
Masih Menyimpan Stigma
Sekalipun nilai kemanusiaan disorot begitu
tajam, sayangnya, film ini masih menyimpan stigma negatif ODGJ. Padahal, film
sebagai produk budaya menjadi tidak hanya menjadi perekam jejak peradaban
sebuah bangsa baik secara gamblang maupun metaforik yang tidak selalu melulu
ditarik ke realitas karena film bisa mencipta realitasnya sendiri yang bisa
menggoyahkan kemapanan pemikiran sehingga ada tatanan baru yang bisa terbentuk.
Film ini belum menjadi film yang memiliki
muatan perlawanan besar terhadap stigma. Sejak awal penonton akan mendengar
Jarot yang teriak-teriak di rumah sakit jiwa karena dikurung dalam ruang isolasi
yang sempit atau Lastri yang ngamuk ketika diganggu oleh anak-anak kecil. Memang
aksi mereka ini merupakan sebuah reaksi dari pengalaman tidak menyenangkan yang
mereka alami, tapi hal ini yang membuat Lastri diusir dari lingkungannya karena
dianggap meresahkan warga sekitar.
Kemudian Lastri juga diperlihatkan membunuh
para pemerkosanya. Sebuah tindakan yang memang sangat beralasan kuat, namun
tetap saja menempatkan sosok ODGJ sebagai sosok pembunuh. Apalagi ketika
membunuh, Lastri juga diperlihatkan sambil tertawa-tawa seolah begitu
menikmatinya. Jarot pun diceritakan juga pernah membunuh orang yang jahat
padanya, walau tidak dijelaskan terlalu rinci perbuatan jahat apa yang
dilakukan orang tersebut sampai dia membunuhnya.
Stigma bahwa ODGJ menjadi rentan berbuat jahat
atau tindakan kriminal masih melekat. Sepertinya permasalahan ini bukan hanya
menjadi tantangan di film Indonesia, tapi juga di luar negeri. Dr. Stacy L.
Smith, seorang Founder dan Director di Media, Diversity, and Social Change
Initiative di Annenberg School for Communication & Journalism, University
of Southern California, pernah mengungkap mengenai kecenderungan stigma ODGJ
dalam film melalui penelitiannya yang berjudul Mental Health Conditions in FIlm & TV: Potrayals that Dehumanize
and Trivialize Characters pada bulan Mei 2019 yang dapat dilihat di Annenberg.usc.edu
Dalam penelitian tersebut, Smith mengungkapkan
bahwa kondisi kesehatan mental sangat jarang ditampilkan di film dan acara tv
popular. Dari 4.598 karakter dalam 100 film terlaris yang tayang di tahun 2016,
hanya sekitar 1,7% atau 76 karakter yang menggambarkan kondisi kesehatan
mental. Bahkan ketika ditampilkan pun masih membawa stigma negatif.
Dalam tulisannya tersebut Smith lebih jauh
mengungkap bahwa sekitar 47% karakter ODGJ di film selalu diremehkan dan dihina
atau menjadi bahan ejekan berbalut humor. Sebagian besarnya juga ditampilkan sebagai pelaku kekerasan.
Sekitar 46% karakter ODGJ di film tampil agresi dan "berbahaya" bagi
masyarakat yang diperkuat dalam penggambaran di film.
Melalui penelitiannya tersebut, Smith berharap
bahwa pembuat konten dalam hal ini film dan televisi dapat berkolaborasi dengan
para ahli untuk menggambarkan kondisi kesehatan mental dan pengalaman terkait
dengan menghadirkan cerita yang tidak memberikan stigma dengan cara menjadikan
cerita dan karakter bernuansa kompleks yang menggambarkan tantangan,
kemenangan, kekuatan mereka dalam memperjuangkan kesehatan mental serta
penyembuhan juga pencarian dukungan. Sehingga cerita dapat memperluas kesadaran
kolektif penonton dan masyarakat.
Jika bercermin di Indonesia, jumlah film yang
menampilkan ODGJ tentu lebih sedikit lagi, ditambah belum ada yang cukup
siginifikan mengangkat jenis-jenis kondisi mental tertentu. Sehingga ODGJ yang
digambarkan masih saja sama dan seragam, yaitu berantakan, kotor, sering
meracau, mengacau dan semacamnya. Padahal kondisi mental atau gangguan jiwa ada
banyak jenisnya. ODGJ dalam film masih rentan mendapatkan perlakuan tidak
manusiawi dari sekitarnya.
Semoga dengan memperlihatkan betapa hinanya
perlakukan manusia "normal" pada ODGJ di film ini mampu menyadarkan
penonton untuk memperlakukan ODGJ dengan lebih baik dalam dunia nyata. Karena
tampaknya mengangkat cerita tentang perlakuan manusiawi kepada ODGJ dalam
sinema Indonesia masih butuh upaya dan perjalanan yang cukup panjang.
Film Indonesia ttg ODGJ yg gue inget cuma dua, Pril:
BalasHapus"Orang-orang Sinting" - tapi gue nggak inget-inget banget detailnya karena pas nonton itu di video gue masih kecil banget. Yang gue inget kegilaan di situ bahan buat komedi.
Satu lagi:
"Beth" - ini diputer di kampus jaman gue kuliah. Tokoh utama di "Beth" sama di "Balada..." ada benang merahnya, punya pacar ODGJ juga. Seinget gue kisah cinta mereka cukup sentral di film. Tapi gue nggak inget-inget amat detail ceritanya. Yang pasti seinget gue, gue lebih seru nonton tokoh-tokoh sampingnya daripada tokoh utamanya. ODGJ di RSJ digambarin cukup menarik dengan segala dimensinya di situ. Sudut pandangnya nggak terlalu biasa.
Meskipun ditaro di rumah sakit jiwa, si tokoh-tokoh sampingan itu buat gue nggak persis kalah juga karena mereka seperti udah keluar dari arena kompetisi, ngebangun arena mereka sendiri. Gue rasa sudut pandang "orang normal" yang bikin mereka dapet label kalah karena seperti udah didiskualifikasi dari arena keidupan yg disepakatin sebagai "normal".
Si Beth ini endingnya rada cringe, Pril. Beth ketawa ngakak setelah kalau nggak salah anjingnya ditembak bapaknya. Yang gue tangkep, setelah sampe di titik terendah dan nggak bisa jatoh lebih dalem lagi, ternyata dia nggak punya pilihan lain selain naik dan memperjuangkan "kemenangan" dia sendiri sebagai manusia.
"Balada Sepasang Kekasih Gila" ini gue belum nonton, tapi belum tau sih mau nonton apa enggak. Thank you review-nya,ya, Pril, bagus, tajem, jeli, dan lengkap banget.