Hari
ini ulang tahunku yang ke-30. Dulu, saat masih kuliah dan mulai berpikir
tentang masa depan, aku membayangkan bahwa saat usia 30 tahun hidupku sudah
mapan dan matang. Nyatanya, beginilah aku sekarang. Terlunta-lunta dan
terkatung-katung. Tanpa pendamping hidup dan tanpa pekerjaan yang jelas.
Waktu
usiaku masih 20 tahun, aku pernah membayangkan bahwa akan menikah di sekitar
usia 25 tahun. Nyatanya? Saat usia tersebut aku justru baru putus dari pacarku
setelah menjalin hubungan yang cukup serius selama lima tahun. Lima tahun yang
nyatanya sia-sia begitu saja dan kini hanya tinggal menjadi kenangan.
Setelah
lulus kuliah, aku membayangkan sudah punya jabatan yang bagus di usia kepala
tiga. Nyatanya karir yang kurintis mandek di tengah jalan. Perusahaan tempat aku bekerja bangkrut dan kini aku bekerja serabutan. Apa saja kukerjakan yang penting aku
bisa makan. Persetan dengan mereka yang bilang passion harus dikedepankan. Mereka belum merasakan yang namanya
uang tinggal recehan dan perut keroncongan.
“Vi,
bantuin gue bikin brosur ya.”
“Oke.”
Temanku Nadia menghubungiku lewat Whatsapp.
Dia butuh dibuatkan desain brosur untuk kafe barunya.
Beginilah
kerjaanku, sebagai desainer grafis lepas. Aku sering mendesain berbagai kebutuhan
bisnis orang lain, mulai dari logo, kartu nama, spanduk, banner, dan lain sebagainya. Kadang pemasukan bisa cukup besar,
lebih seringnya pas-pasan. Aku sering iri melihat para klienku. Rata-rata
mereka masih berusia cukup muda dan sudah berani buka usaha bahkan tidak hanya
satu bisnis saja.
Ada
satu klienku yang sudah punya kafe, kemudian buka restoran. Ada juga klienku
yang lain yang mendirikan online shop
menjual berbagai sepatu, baju dan tas kemudian membuat bisnis bimbingan belajar
dengan bayaran yang fantastis.
Yang
aku kerjakan mungkin juga bisa dikatakan bisnis walaupun kecil-kecilan. Untung
yang kudapat masih di skala pedagang, belum di taraf pengusaha. Tapi aku
syukuri saja. Sambil terus melamar kerja di mana-mana. Karena aku tetap butuh
penghasilan rutin bulanan.
Bekerja
serabutan mungkin menyenangkan. Aku bisa bepergian di saat orang terjebak di
kantor. Aku bisa tidur siang saat orang menahan kantuk di meja kerjanya. Aku
bisa nonton televisi saat orang-orang mengutuk di tengah kemacetan.
Hanya
saja aku butuh kestabilan. Aku merindukan yang namanya bersenda gurau dengan
rekan kerja. Aku merindukan aktivitas berulang setiap harinya. Supaya aku
merasa lebih punya tujuan.
*
Aku
memandangi wajahku di cermin. Kerutan-kerutan halus mulai timbul di sana.
Terutama di bagian sekitar mata. Flek hitam mulai muncul di mana-mana. Kulitku
juga jadi semakin kering dari sebelumnya. Dadaku mulai kendur tak lagi seperti
gadis belia.
Tampaknya
aku mulai khawatir menghadapi penuaan. Walau menjadi tua itu sebuah
proses alami, aku tetap saja takut. Apa jadinya kalau tiba-tiba fisik kita jadi
tak sebugar dulu? Apa jadinya kalau otak kita mengalami kemunduran?
Tiba-tiba
panggilan masuk dari ibuku di ponsel membuyarkan lamunanku tentang masa senja
yang entah akan kuhabiskan seperti apa.
“Ya,
Bu, ada apa. Tumben telepon?”
“Via,
Selamat ulang tahun, ya. Semoga kamu panjang umur. Sehat selalu. Cepet dapet
jodoh dan kerjaan yang bagus,” ujar ibu di seberang sana.
“Amin.
Makasih, Bu. Ibu sehat-sehat aja di sana?”
“Ibu
agak nggak enak badan sebenernya. Kamu pulang, ya? Ibu udah bikinin kue ulang
tahun buat kamu.”
Aku
diam sejenak. Aku ngekost di selatan Jakarta. Karena kadang aku harus bertemu
klien atau meeting dengan banyak
pihak. Itulah mengapa aku memilih tidak tinggal di rumah ibuku di Bekasi. Selain Bekasi itu lumayan jauh dari Jakarta, aku juga malas dipandang oleh tetangga-tetangga ibu
sebagai pengangguran, hanya karena aku tidak berangkat pagi-pagi ke kantor seperti
karyawan pada umumnya. Karena itu, kadang aku hanya pulang sebulan dua kali atau sebulan sekali ke rumah ibu. Tapi, berhubung ibu sudah bikin kue ulang tahun untukku, sepertinya aku akan pulang hari ini.
“Iya,
hari ini aku pulang, Bu. Tapi, mungkin agak sorean, ya. Ibu nggak enak badan
kenapa? Sakit?”
“Agak
pusing-pusing keliyengan. Mungkin kolesterol ibu lagi kambuh.”
“Yaudah,
ibu tunggu sebentar, ya. Nanti Via pulang, ini ada kerjaan yang harus
diselesaikan sekarang juga.”
Aku
pun segera mengakhiri panggilan dan langsung membuka laptop. Ada pesanan desain
proposal dari klien yang harus segera kukerjakan revisinya.
*
Butuh
waktu beberapa jam dari Setiabudi menuju Bekasi. Aku melihat ibuku terbaring
lemas di ranjangnya. Ibu tinggal berdua dengan adikku di rumah. Adikku masih
SMA. Kulihat dia sedang menyuapi ibu semangkuk bubur.
Ibu
tampak senang melihat kedatanganku. Wajahnya terlihat pucat dan sudah tampak
semakin menua. Maklum, usianya sudah 60 tahun. Sehari-hari ia jualan kue di
pasar. Tapi, sering nggak jualan karena ibu udah sakit-sakitan.
Uang
hasil jualan juga tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Untungnya, saudara
ibu yaitu paman dan bibiku kadang masih membantu masalah keuangan keluarga kami
dan membiayai sekolah adikku.
“Kamu
udah kerja, lagi?” tanya ibu.
Yang
ibu maksud dari kerja lagi ini adalah kerja kantoran. Menurut dia yang aku
kerjakan sekarang ini ya bukan sejenis pekerjaan.
“Doain
aja, Bu. Via udah ngelamar ke mana-mana. Semoga ada yang nyangkut.”
Sebenarnya selama ini bukan tak ada perusahaan yang memanggilku. Hanya saja, besaran gajinya tidak ada yang kuanggap sesuai.
“Ibu
selalu doain, Nak. Tapi kalau kamunya aja nggak salat ya, gimana Allah mau
kabulin.”
Salat,
katanya. Dulu, waktu ayah masih ada, aku termasuk anak yang rajin beribadah.
Tidak hanya salat, aku juga rajin mengaji. Semakin dewasa konsep beragama
menjadi sedikit berbeda di mataku.
Sewaktu
kecil, aku sudah diberikan buku doa-doa. Di dalamnya ada doa masuk ke kamar
mandi, ketika bercermin, ketika keluar rumah, dan segala macam aktivitas
sederhana lainnya. Aku pun mencoba menghapal itu semua, tapi tetap saja tidak
bisa hapal.
“Ibu
pengin lihat kamu salat.”
Permintaan
yang cukup aneh tiba-tiba keluar dari mulut ibuku. Ibadah itu kan urusan
makhluk dengan ciptaan-Nya. Sebenarnya tidak penting apakah dilihat makhluk
lain atau tidak.
“Ibu
udah lama nggak lihat kamu salat.”
Baiklah.
Ibu sedang sakit. Orang sakit lebih baik dituruti. Akhirnya aku mengambil air
wudhu. Kemudian menggelar sajadah di samping tempat tidurnya. Kuakhiri salatku
dengan doa semoga ibu kembali sehat.
Aku
melihat ke arahnya yang masih terbaring. Matanya terpejam tanda tertidur.
Kuperhatikan raut wajah ibu yang kulitnya sudah mulai menyusut di banyak
tempat. Rambut putihnya sudah bertumbuh semakin banyak. Dulu, ubannya masih
bisa dihitung jari. Sekarang tampaknya justru rambut hitamnya yang semakin
sedikit.
*
“Kamu
udah punya pacar lagi, belum Vi?”
“Belum,
Bu.”
“Masih
belum bisa lupain Bisma?”
Bisma
itu pacarku yang terakhir. Yang menjalin hubungan denganku selama lima tahun
kemudian berpaling begitu saja dengan mudahnya ke perempuan lain hanya karena
dia bilang perasaannya padaku sudah tak sekuat dulu.
Memang setelah putus dari Bisma aku tidak jomlo nelangsa begitu saja. Beberapa kali aku mencoba menjalin hubungan tapi hanya sebentar-sebentar dan kandas begitu saja di tengah jalan.
Entah kenapa pengkhianatan yang dilakukan Bisma dan
kata-katanya yang menyiratkan seolah cinta bisa kedaluwarsa membuatku berpikir
ulang berkali-kali jika ingin membangun hubungan yang serius kembali dengan
orang lain.
“Jodoh
itu di tangan Tuhan, Bu. Kalau belum waktunya ketemu, ya nggak ketemu.”
“Paling
nggak, kalau nggak kerja ya kamu nikah. Kalau nggak nikah ya kamu kerja. Bisa
dua-duanya lebih bagus. Kalau udah nggak kerja, nggak nikah juga, Ibu sedih,
Nak.”
Aku
ke luar dari kamar ibu dan terduduk sendiri di meja makan. Memandangi kue
black forest yang sudah disediakan oleh ibu. Menatap angka 30 yang tertancap di
atasnya. Aku nyalakan korek api di atas lilin berbentuk angka itu, lalu
meniupnya begitu saja. Tanpa membuat permintaan apa-apa terlebih dulu.
Entah
rasa apa yang menjalari dada. Ketika melihat api itu padam begitu saja. Sulit sekali
aku definisikan. Sepertinya, setelah aku kembali ke kostan, aku tidak akan
pulang ke rumah ibu dulu untuk waktu yang lama.
*
*Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar