Sains dan agama sudah sejak lama dalam pandangan (beberapa) orang, ibarat air dan minyak atau bumi dan langit. Senantiasa dianggap berseberangan, berlawanan. Tapi, apakah memang keduanya seekstrim itu berjauhan? Memangnya tidak bisa kalau mereka saling hidup bersisian, bersinggungan dan beririsan lalu punya hubungan yang begitu mesra?
Saya pikir setelah membaca buku Sains “Religius” dan Agama “Saintifik”: Dua Jalan Mencari Kebenaran yang ditulis oleh Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla yang diterbitkan oleh Mizan Publishing, saya bisa mendapatkan sedikit jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Karena selain judulnya begitu menarik, gambar sampulnya juga ciamik. Ada dua buah lempeng berbentuk sabit yang masing-masing ujungnya saling bersentuhan. Ya, seolah-olah membicarakan pertemuan antara dua kutub yang begitu berbeda; agama dan sains.
Sayangnya, setelah membaca habis satu buku
tersebut, saya masih belum mendapat gambaran yang cukup jelas tentang seperti
apakah sains yang religius itu? Dan seperti apa jugakah agama yang saintifik
itu? Isinya tidak berisi esensi yang sungguh-sungguh menjadi representasi dari
judulnya (dan gambar sampulnya).
Padahal Haidar Bagir di bagian awal buku ini
menuliskan, “Di satu sisi kita kewalahan dengan pengikut agama yang mau menang
sendiri dan mengafir-ngafirkan sains dan filsafat. Tetapi di sisi lain, kita
dapati ada juga pemuja sains yang menafikan filsafat dan membodoh-bodohkan
pemikiran agama. Kapan manusia benar-benar bisa bebas dari para bigot dan
ekstremis yang ada di berbagai kelompok ini?” (Hal 31). Sungguh sebuah paragraf
yang menggugah pembaca untuk ingin tahu bagaimana mereka yang bertentangan ini
bisa berdamai pada akhirnya.
Memang ia pun memaparkan solusinya yaitu bahwa ia
percaya yang kita butuhkan adalah reintegrasi antara sains, filsafat dan agama.
Ya di dalam buku ini Haidar Bagir juga membahas cukup banyak tentang filsafat.
Walaupun reintegrasi menurutnya bukanlah berarti
mencampuradukkan ketiganya, tapi menggabungkan dengan jernih dan tetap
mempertahankan batas wilayah masing-masing. Selain itu juga
mempertanggung-jawabkan kebenaran-kebenaran yang diperoleh sehingga pengetahuan
kita akan lengkap dalam berbagai aspek. Tampak ideal sekali, ya? Tapi,
sebenernya reintegrasinya itu seperti apa dalam pemahaman singkat dan mudahnya?
Saya kira saya akan menemukan benang merah antara
sains dan agama atau keselarasannya karena saya menemukan sebaris kalimat di
halaman 86 mengenai “hukum-hukum alam yang tak lain adalah Sunnah Allah di alam
semesta”. Sayangnya tidak dijabarkan lebih jauh dan lebih mendalam lagi mengenai
hal tersebut.
Sementara itu hubungan agama dan sains yang penuh
konflik tentu sudah bukan rahasia lagi. Sangat mudah sekali menemukannya. Lantas
bagaimana dengan hubungan yang harmonis? Apakah ada? Apakah cukup hanya sekadar
mengetahui bahwa dalam sejarah, ada banyak tokoh cendekiawan muslim yang
menjadi ilmuwan dan berkontribusi pada kemajuan sains modern? Rasanya para
ekstrimis agama yang anti sains tak lantas jadi mencintai sains hanya sekadar
diajarkan soal sejarah tersebut.
Hanya ada satu contoh yang dikemukan Haidar Bagir
mengenai lahirnya sebuah penemuan karena terinspirasi kitab suci, yaitu tentang
Prof Abdus Salam. Ia mengaku mendapatkan inspirasi penemuannya dalam penyusutan
teori penyatuan gaya nuklir lemah dari Al-Quran. Tapi juga tidak jelas, dari
surat apa dan ayat yang mana ia mendapatkan inspirasinya tersebut. Sementara
contoh lainnya dikatakan adalah Albert Einstein yang mengemukakan teori
relativitas dari imajinasi, dan sederet ilmuwan lainnya yang menemukan penemuan
ilmiah juga dari imajinasi. Tapi, tentang yang diilhami kitab suci, contohnya
hanya satu itu saja dan yang seperti saya katakan; tidak dijelaskan dengan
lebih detail atau spesifik.
Tidak Ada Tuhan Itu Tidak Masuk Akal
Sementara itu Ulil menuliskan betapa “tidak masuk
akal”, ketika sains, yang mengandalkan fondasi empiris (di mana sesuatu itu ada
dan tidak harus dibuktikan dengan indera), sehingga sesederhana itu mengatakan
bahwa Tuhan tidak ada. Bagi Ulil, ini sama tidak masuk akalnya dengan sains
yang menjelaskan kemunculan kehidupan melalui teori evolusi di mana tidak
adanya campur tangan Tuhan.
Ia katakan tidak masuk akal karena menurut
perbandingan yang ia buat, yaitu dua contoh susunan huruf yang satu acak dan
yang satunya tersusun dengan benar, maka berarti ada “penyusun huruf”. Rasanya,
para ekstrimis sains yang anti agama tak lantas jadi mengindahkan agama hanya
karena argumen “penyusun huruf” tersebut.
Padahal, andai tidak hanya sekadar tidak masuk
akalnya kedua hal tersebut yang dibahas, tapi juga contoh-contoh betapa masuk
akalnya agama, sehingga tidak perlu bertentangan dengan sains, mungkin pembahasannya
akan jadi jauh lebih menarik lagi.
Jadi, intinya untuk kamu para pencari pesan moral
dalam sebuah karya, maka pesan moral dari buku ini adalah: Jangan pertentangkan
agama dan sains karena iman bukan lawan dari pengetahuan. Hanya ditekankan
bahwa sains dan agama memang bukan musuh bebuyutan, tapi tidak juga dijelaskan
dengan mendalam seperti apa jalinan persahabatannya?
Akhir kata, semoga kita bisa menghidupkan harapan
di buku ini: senantiasa dihindari dari kepongahan dalam beragama, maupun dalam
berilmu, - atau dalam keduanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar