Tahu, kan apa itu generasi sandwich? Dalam artian
sederhananya, generasi sandwich merupakan sebutan untuk orang-orang yang terhimpit dengan tanggung jawab (finansial) dalam
mengurus anak dan orangtua. Biasanya generasi sandwich memiliki anak-anak yang
masih kecil (di bawah 18 tahun) yang tentunya belum mandiri secara finansial, dan orangtua yang juga
bergantung padanya, karena tidak punya penghasilan atau dana pensiun.
Saya, termasuk dalam generasi yang terhimpit itu. Apakah kamu juga sama seperti saya? Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk terbebas dari
menjadi generasi sandwich dan memutus mata rantainya? Berikut ini 7 cara #CerdasDenganUangmu agar berhenti jadi generasi sandwich.
1. Gaya hidup minimalis, gaji maksimalis, tabungan fantastis!
Foto: Aprillia Ramadhina |
Semenjak baca buku Marie Kondo,
yang judulnya The Life-Changing Magic of Tidying Up, saya jadi mulai rajin
berbenah. Dengan membuang benda-benda yang tidak lagi saya butuhkan, saya merasa
seperti memasuki lembar baru dalam hidup. Ternyata, saya bisa hidup dengan
sedikit barang dan hidup saya baik-baik aja, tuh. Sedikit banyak,
kebiasaan berbenah ini juga berdampak ke urusan finansial. Apa yang saya
lakukan untuk meminimalisir gaya hidup?
Identifikasi apa yang biasanya
bikin keuangan bocor dan gimana cara mengatasinya. Kalau saya misalnya, seperti
ini untuk per bulannya:
Biaya ngopi < Rp 50 ribu
Ngopi di kafe, sekalinya bisa abis
berapa? Minimal Rp 50 ribu. Untuk saya yang doyan ngopi untuk ngisi bahan bakar
kreativitas, duh angka ini mah bisa bikin bangkrut. Tapi, ini bisa diakalin dengan mengurangi intensitas dan cari kafe yang harganya lebih terjangkau. Atau
alternatifnya ya minum kopi sachet, atau kopi-kopi instan yang dijual di mini
market. Harganya ada yang cuma Rp 5 ribu.
Kalau biasanya sebulan empat kali
bisa Rp 200 ribu (kalau sekali beli RP 50 ribu), kalau minum kopi instan 4
kali sebulan cuma abis Rp 20 ribu, hahaha. Atau ya udah minum kopi agak mahal,
tapi sekali aja sebulan. Atau sebulan dua kali tapi di kafe kecil yang harga
kopinya 15 – 20 ribu. Intinya budget cuma 50 ribu. Terserah gimana
alokasiinnya.
Belanja fashion, make up, skin
care, dan nyalon < Rp 500 ribu
Coba itu, perlu banget nggak punya
baju sampai dua lemari? Nggak, karena nggak mungkin juga dipakai semuanya.
Perlu nggak punya lipstik sampai 10 biji? Nggak, karena bakal banyak yang belum
abis tapi udah kedaluwarsa duluan. Jadi, masing-masing jenis makeup cukup punya
satu aja untuk foundation, eyeliner, eyeshadow, dan lain-lain. Lipstik nggak apa-apa
deh tiga, untuk warna bold, warna soft, dan nude, hahaha.
Sepatu? Cukup dua kalau saya; satu sneakers dan satu flat shoes. Tas juga dua, satu tas tenteng, satu tas ransel. Nyalon?
Pijit aja paling, maskeran dan luluran ya bisa sendiri di rumah, hehehe.
Buku < Rp 200 ribu
Nah ini yang susah. Bisa-bisa keluar
Rp 500 ribu per bulan buat buku diri sendiri, kalau nggak dikontrol hahaha. Tapi, nggak lah kalau udah
punya anak. Ya paling satu buku buat dia, satu buku buat saya. Yang penting
tiap bulan ada beli buku. Kalau satu bulan pengin dua buku, beli satu aja dulu, yang satunya
bulan depannya lagi. Biasanya kalau buku baru, atau buku laris, bulan depan
pasti masih ada stoknya di toko buku.
Perlengkapan anak < Rp 300 (di luar susu dan popok, karena dua hal itu wajib, hehe)
Untuk keluarga yang sudah punya
anak, pasti nggak bisa dimungkiri, kebocoran akan banyak terjadi di sini. Saya
sih ngakalinnya dengan dua cara; beli barang baru kalau udah nggak muat dan jangan
beli barang yang anak nggak suka.
Lihat dress anak lucu-lucu amat,
pengin. Lihat sepatu gemes-gemes amat, mau. Ini mah yang mau emaknya, kan?
Hahaha. Tapi, kalau untuk Arina, dari bayi saya juga udah terapin hidup
minimalis. Waktu Arina belum bisa jalan, dia nggak pernah dibeliin sepatu.
Kenapa? Ya buat apa, dia belum bisa jalan juga, hahaha. Kemana-mana ya pakai
kaos kaki aja. Pas udah setahun mulai jalan, latihannya juga nggak pakai sepatu
biar makin lancar. Sekarang dia cuma punya satu sandal dan satu sepatu. Karena
percuma beli banyak, kalau nggak bisa dipakai lama-lama.
Saya juga nggak beli barang yang
jelas-jelas dia nggak suka. Contohnya bando. Arina ini nggak doyan pakai bando!
Hahaha. Jadi, yaudah ngapain juga kan dibeliin bando macem-macem kalau anaknya
aja nggak suka pakai. Boros doang, tapi nggak berfaedah.
Hidup minimalis, tapi gaji harus maksimalis dong. Untuk punya gaji
maksimalis, saya fokus upgrade kebisaan diri. Dengan kita selalu tingkatin skill,
kita jadi punya nilai tawar lebih ketika bekerja. Dengan punya gaji maksimalis dan
gaya hidup minimalis, kita bisa punya tabungan fantastis!
2. Set your money goals!
Foto: Aprillia Ramadhina |
Untuk apa kita kerja? Untuk apa kita nyari uang? Cuma untuk survive, bertahan hidup?
Ya nggak ada salahnya, sih. Tapi hidup akan sangat terasa membosankan kalau
kita nggak set tujuan.
Hidup tanpa tujuan yang mengalir
bagaikan air cuma akan bikin kita terbentur-bentur dan mengambang tanpa arah.
Begitu juga soal keuangan. Pantas aja kok saldo bikin sedih terus, ya karena
kita nggak kasih tujuan ke uang yang kita punya. Tanpa tujuan jelas, nafas kita
akan selalu terengah-engah dan langkah kita terseok-seok.
Udah ngirit sana-sini tapi nggak
mempan. Udah nambah penghasilan tapi akhir bulan tetap engap-engapan. Apa yang
salah? Karena kita biarin uang kita ngalir gitu aja kayak air. Anyut, bos!
Supaya tahu ini duit pada larinya ke mana dan memastikan mereka berakhir
menjadi hal yang berfaedah, ya tetapin tujuannya.
3. Membagi tabungan berdasarkan tujuan
Gambar: Canva. |
Tiap orang pasti punya tujuan yang
berbeda-beda. Saya men-set untuk membuat tabungan bagi masing-masing tujuan.
Saat ini berlibur ke luar negeri, bukanlah tujuan. Karena saya cukup bahagia
bisa nginep di hotel dalam kota. Definisi berlibur bagi saya terkadang
sesederhana bisa dapat istirahat yang cukup di tempat yang tenang. Itu aja.
Nanti, kalau Arina udah agak
gedean, pengin juga sih ke luar negeri, tapi itu nggak dalam waktu dekat
pastinya. Jadi, saya nggak bikin budget tabungan untuk liburan.
Saya bagi tabungan menjadi tiga:
- Dana darurat dan pensiun
- Biaya pendidikan
- Rumah atau mobil (untuk tahu cara menabung supaya bisa beli mobil dan rumah bisa baca di sini: Biar Impian Beli Rumah Cepat Terwujud, Ikuti 4 Tips Menabung Mudah Ini dan di sini: Target Beli Mobil Tahun Depan? Ikuti 5 Tips Menabung Ini Biar Bisa Dapat Duit Banyak.
Tiap bulan saya alokasikan dari gaji
saya dan suami minimal 20% dibagi ke pos masing-masing tujuan itu. Kalau nanti dana darurat udah
sampai 9 kali gaji, selebihnya tetap diisi untuk pensiunan.
4. Menumbuhkan respek terhadap uang
Tahu, kan uang itu didapatnya dari
mana? Dari hasil kerja (kerja ini bisa berbentuk kerja di kantor, kerja
sampingan, atau berjualan dan sebagainya, ya. Intinya aktivitas yang
menghasilkan uang). Dalam bekerja, apa aja yang udah kita “tukar” untuk
mendapat uang? Keringat dan air mata, hahaha. Eh, tapi serius deh, untuk kerja
kita udah menggadaikan waktu, tenaga, uang (untuk ongkos, makan siang,
dan lain-lain), perasaan kita (tetap harus kerja walau penuh tekanan, tetap
harus kerja walau sedang banyak masalah).
Bahkan, terkadang kerja juga bisa
jadi mempertaruhkan kewarasan kita. Semua itu menjadi nilai tukar kita untuk
berlembar-lembar kertas bernama uang yang masuk ke rekening. Yakin,
semua yang udah kita dapatkan itu cuma untuk sekadar numpang lewat? Cuma untuk
ngalir gitu aja kayak air di sungai menuju lautan yang antah berantah?
Respect your money. Sering kali
kita menganggap remeh uang, karena mikirnya, uang akan selalu bisa dicari.
Tapi, dengan kita respek terhadap uang, itu berarti kita juga respek terhadap
bagaimana cara kita mendapatkannya. Sama saja seperti kita respek terhadap
kerja keras kita. Masa’ mau hasilnya kebuang-buang gitu aja nggak jelas?
5. Spend less, but earn, save, and give more!
Hidup minimalis itu sebaiknya hanya
diberlakukan untuk pengeluaran, tapi nggak untuk pendapatan, tabungan dan
sedekah. Nggak usah mikir bahwa dengan memberi kita akan mendapatkan lebih. Ini
pamrih, namanya. Tumbuhkan rasa bahwa kita memberi karena memang butuh giving back
to others. Segala hal yang kita dapatkan itu ada campur tangan Tuhan dan ada
bantuan dari orang-orang sekitar. Dengan kita memberi ke orang lain lagi, itu
tanda kita bersyukur sama apa yang kita punya dan kita dapatkan. Karena selalu
ada hak orang lain dari setiap rezeki yang kita terima.
6. Hidup cuma sekali, mau miskin terus atau jadi orang kaya adalah pilihan
Foto: Aprillia Ramadhina |
Sebelum punya anak, saya orang yang
sangat serampangan. Saya nggak peduli hidup esok itu seperti apa, saya cuma
puas-puasin gimana nyenengin hidup saya untuk hari ini. Besok mah gampang. Gitu
aja terus prinsipnya. Kenapa? Karena ngerasa nggak punya tanggungan. Mungkin
juga karena saya ngerasa nggak punya tujuan. Sampai semua itu buyar saat saya
akhirnya punya anak.
Saya yakin Tuhan kasih saya anak,
salah satu hikmahnya adalah supaya saya hidup jadi orang yang punya tujuan.
Sebelum punya anak mah mana kepikiran sih buat punya rumah dan mobil, hahaha?
Secara saya kostan aja pindah-pindah. Kendaraan? Ya selalu pakai transportasi
umum. Sejak punya anak, wah punya mobil dan rumah, langsung ada di top of mind
lah.
Sumber gambar: Instagram @moneysmartid |
Saya mulai cari-cari informasi soal
mengatur keuangan, dari mana aja, dari buku, artikel di internet, sampai
Instagram. Kalau akun instagram, favorit saya
ya juga mamah-mamah muda, seperti Andra Alodita. Waktu dia share tentang dana
darurat, waahhh itu ketampol banget. Langsung mikir, kudu segera banget nih
nyiapin dana darurat. Terus kalau buku, saya suka bukunya Prita Ghozie, yang judulnya Make It Happen, nah kalau artikel internet, saya suka banget sama
artikel-artikel di MoneySmart.id.
Artikelnya itu gampang banget
diterapin untuk bikin keuangan lebih sehat, terutama untuk kaum milenial (seperti saya) yang mau kaya tapi juga ingin bisa senang-senang. Terkait generasi sandwich, kalau
kamu ingin terbebas, MoneySmart.id juga kasih solusinya, kamu bisa baca di sini StresTanggung Orangtua dan Anak? Begini Solusinya!
Ini artikel bermanfaat banget.
Gimana cara kamu bisa survive jadi generasi sandwich, dan gimana kamu nggak
stres jadi generasi yang terhimpit dua tanggung jawab ini. Intinya, menurut
saya, kalau jadi generasi sandwich ya solusi paling jelasnya kita harus kaya!
Sumber: www.moneysmart.id |
Kalau kita miskin terus ya itu
karena kitanya nggak mau berjuang habis-habisan. Percaya, deh, kalau kita kaya,
kita bisa kasih manfaat lebih untuk sesama. Kita bisa bantu orangtua,
misalnya bikinin mereka bisnis, atau aset yang bisa kasih mereka passive
income. Kita juga bisa kasih yang terbaik untuk anak kita, supaya mereka
mandiri, supaya mereka terbebas dari keterhimpitan menjadi generasi sandwich di
masa depan.
7. Kalau kita termasuk generasi sandwich, ingatlah bahwa cukup kita saja yang mengalaminya, bukan generasi penerus kita
Gambar: Canva. |
Ini hal yang selalu saya tanamkan.
Saya merasakan betul nggak enaknya jadi sandwich generation. Ibu saya nggak
bekerja setelah menikah. Saat ayah meninggal, anak masih kecil-kecil. Ibu nggak
bisa bekerja lagi, karena dianggap sudah tua dan nggak punya pengalaman.
Pedih
rasanya kalau ingat masa-masa itu. Masa di mana saat masih kecil, saya malu
mendapat uang santunan anak yatim dari masjid atau meminta surat keterangan
tidak mampu untuk pengajuan beasiswa. Hal-hal semacam itu seolah semakin
memojokkan saya bahwa saya adalah orang yang “kurang beruntung”, orang yang
berbeda dari orang-orang lainnya, orang yang… (saya benci menyebutnya) patut
dikasihani.
I’ve been there. Dan saya ingin
anak saya terbebas dari merasakan sandwich generation ini. Kelak dia akan punya keluarga,
punya anak. Dia nggak mungkin punya anak yang langsung mandiri, kan? Paling
tidak sampai anaknya berusia 18 atau 22 tahun, lho!
Karena itu, selain
memberikan yang terbaik untuk anak saya, kelak yang bisa saya lakukan untuk
meringankan bebannya saat dewasa adalah menjadi orangtua yang mandiri. Sekarang
dan nanti. Sekarang, ataupun 50 tahun lagi. Semoga senantiasa bisa. Karena
berdikari, adalah keharusan bagi setiap manusia.