Berasal dari Dusun Krajan, yang terletak di Desa Mangunrejo, Kabupaten
Kediri, Siti Maskurotul Ainia atau yang biasa disapa Nia telah menyelesaikan
pendidikan hingga jenjang S2 di Italia.
Meski sudah kuliah di Italia, dan
keliling Eropa, tidak banyak yang berubah dari sosok teman saya yang satu ini. Dia
masih menjadi pribadi sederhana seperti yang saya kenal dulu di jurusan
Filsafat Universitas Indonesia sejak tahun 2007. Siapa yang sangka, perempuan
yang dulunya sering gugup saat presentasi di kelas bisa hijrah hingga ke Italia
demi hasrat intelektualnya.
Nia waktu baru masuk kuliah di jurusan Filsafat UI tahun 2007. Sumber: Facebook Siti Maskurotul Ainia. |
“Dulu, telepon rumah aja nggak ada,
Pril, karena nggak ada akses. Yang bisa punya telepon itu cuma aparatur Desa
aja, kayak Kepala Desa, atau Sekretaris Desa,” kenangnya. Tapi, minimnya akses
informasi dan komunikasi tidak membuat Nia patah semangat khususnya di bidang
pendidikan. Kedua orangtuanya menyekolahkan Nia ke sekolah favorit, yakni SMA
Negeri 4 Kediri. Alasannya, supaya Nia bisa lebih banyak dapat informasi
tentang bagaimana melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi jika sekolah
di sekolah favorit.
Akhirnya, setelah ikut SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), Nia
diterima di UI. “Waktu kuliah di UI, gue jiper banget. Ngelihat kalian kok ya
kayaknya pada keren-keren, hebat-hebat, gaul-gaul. Jadi, tiap presentasi gue
pasti gemeteran, karena gue ngerasa terintervensi sama audience,” ujarnya
menjabarkan kenapa dia bisa begitu grogi kalau harus menjelaskan sesuatu di
depan kelas.
Saya, Nia, dan teman-teman jurusan Filsafat UI angkatan 2007. Sumber: Facebook Siti Maskurotul Ainia |
“Terus, apa yang lo lakuin biar lo
nggak sering gugup lagi saat itu?” tanya saya. “Gue keluar dari zona nyaman.
Biasanya tinggal di asrama, gue mulai bergaul sama teman-teman lain di luar
asrama. Dari situ gue tahu, kalian juga sama aja kok, masih belajar dan banyak
nggak tahunya juga kayak gue, hahaha.” Pelan-pelan dia pun nggak lagi merasa
inferior karena label “anak daerah” yang melekat padanya.
Saya salut bagaimana orangtua Nia
begitu mengedepankan pendidikan. Di saat banyak anak muda di desanya yang lulus
SMA kemudian menikah, langsung bekerja, atau melanjutkan kuliah di kampus
daerah, orangtua Nia ingin anaknya bisa sekolah di tempat terbaik, tidak
tanggung-tanggung, Universitas Indonesia jadi tujuannya.
“Karena nyokap gue selalu berpesan, yang bisa nyelametin hidup anak-anaknya di masa depan itu bukan harta atau materi warisan orangtua, tapi edukasi.”
Menyelesaikan Skripsi Walau Sudah Kehilangan Kedua Orangtua
Nia wisuda S1 tahun 2012. Sumber: Facebook Siti Maskuratul Ainia |
Tahun 2010, ayah Nia meninggal
karena sakit komplikasi. Setelah ayahnya meninggal, ibunya jadi sering
sakit-sakitan. Tentu ada kehilangan begitu besar yang dirasakannya. “Nyokap gue
kayak kehilangan arah setelah bokap meninggal. Gue pun juga sakit-sakitan.
Alhasil, gue milih balik pulang kampung saat gue lagi ngerjain skripsi.”
Itu
yang membuat Nia lantas nggak bisa lulus tepat waktu bareng saya dan
teman-teman lainnya tahun 2011. Dan setelah ia kembali ke rumah, tak lama,
ibunya juga meninggal. Tidak sampai setahun setelah kepergian ayahnya.
Saya
salut ia bisa tetap tegar menyelesaikan kuliahnya walau telah kehilangan kedua
orangtuanya. “Karena mereka udah nggak ada, gue semakin pengin buktiin kalau
gue bisa jadi ‘seseorang’. Gue bakal jaga diri gue, jaga adek gue, dan
mewujudkan mimpi orangtua gue, yakni jadi peneliti atau dosen. Kenapa? Karena
nyokap gue pengin, dengan milih profesi di bidang pendidikan, anak-anaknya bisa
meningkatkan kualitas desanya.”
Memilih Kuliah di Italia karena terpesona Giorgio Agamben
Nia mengaku tertarik dengan sosok
filsuf asal Italia, Giorgio Agamben, terutama pada pemikiran sang filsuf
mengenai konsep pluralitas manusia. Akhirnya ia pun melabuhkan pilihan kepada University of Calabria untuk menimba ilmu, tepatnya jurusan Political Science and International Relations. Ia
pun mendapat beasiswa penuh saat kuliah di sana, mulai dari biaya pendidikan,
hingga tempat tinggal dan uang saku.
Namun, walaupun secara finansial sudah terjamin, di
sela-sela kesibukan kuliahnya, ia juga bekerja sambilan. Mulai jadi
barista di bar, hingga jadi pelayan di restoran. Kadang dia harus dapat shift
malam yang berarti pulang jam 2 pagi. “Kan, lo udah dapet beasiswa penuh,
kenapa lo repot-repot kerja juga?” tanya saya. “Uang beasiswa itu cuma cukup
untuk diri sendiri, kalau gue mau ngirim uang buat adek gue dan keluarga gue yang
lainnya di kampung ya gue harus kerja lagi,” ujarnya.
Sumber: Instagram @iamnniaaa |
Selain kuliah dan bekerja, Nia juga
menyempatkan diri untuk keliling dunia. Terhitung ia sudah menginjakkan kaki di
Spanyol, Austria, Hungaria, Perancis, Jerman, Belanda, dan Polandia. Baik dalam
rangka jalan-jalan maupun mengerjakan proyek penelitian. Bahkan ia pernah juga diundang
untuk presentasi di sebuah konferensi internasional di Amerika Serikat tentang
perdamaian dunia, yang digagas oleh PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) dan beberapa NGO (Non-Governmental Organization) di mana ia menjadi
pembicaranya.
Rencana Melanjutkan S3 dan Bermimpi Jadi Menteri
Sumber: Instagram @iamnniaaa |
Kini, setelah lulus S2, Nia kembali
sejenak ke Indonesia. Ia pun mulai mendekat ke kampus UI lagi dan bermitra dengan salah satu dosen di sana untuk membuat penelitian bersama.
Penelitian yang akan ia angkat adalah tentang persoalan strategi kebudayaan
Indonesia atau geopolitik Indonesia.
Nantinya, jika penelitian ini
rampung rencananya akan dipresentasikan di Belanda dalam sebuah konferensi dan
diharapkan akan menjadi jurnal ilmiah internasional. Pengalaman melakukan
penelitian ini merupakan salah satu hal yang perlu ia dapatkan untuk bisa
melanjutkan lagi pendidikan dan mendapatkan beasiswa ke jenjang yang lebih tinggi, yakni S3.
Targetnya, paling lambat di tahun 2020 di saat usianya 30 tahun dia sudah mulai kuliah lagi. Rencananya ia ingin kuliah di jurusan Hubungan Internasional di London School of Economics, Inggris. Ia juga tengah menargetkan dirinya menjadi dosen dalam waktu dekat. Namun, tetap baginya menjadi dosen saja belum cukup, jika tidak menghasilkan penelitian yang bermanfaat.
Targetnya, paling lambat di tahun 2020 di saat usianya 30 tahun dia sudah mulai kuliah lagi. Rencananya ia ingin kuliah di jurusan Hubungan Internasional di London School of Economics, Inggris. Ia juga tengah menargetkan dirinya menjadi dosen dalam waktu dekat. Namun, tetap baginya menjadi dosen saja belum cukup, jika tidak menghasilkan penelitian yang bermanfaat.
“Gue seneng jadi peneliti karena
peneliti itu create something.
Peneliti men-supply knowledge untuk
masyarakat. Tapi, itu bisa nggak kuat kalau nggak ditopang regulasi. Karena
itulah gue pengin jadi menteri. Ya, kalau nggak menteri sosial, menteri
pendidikan, lah. Mungkin orang mikir mimpi gue terlalu muluk. Nggak, gue
ngerasa mimpi gue itu dekat. Kalau jadi menteri, knowledge impact nya bisa secara praktikal dan direalisasikan lewat
policy maker.”
Traktiran #BuatKamu, Teman Inspiratif yang Kehilangan Handphone Kesayangannya
Foto: Aprillia Ramadhina |
Mimpinya menjadi menteri di mata saya bukan sekadar angan belaka. Ia tengah meniti jalannya, dengan menargetkan diri menjadi dosen, melakukan penelitian, hingga menyelesaikan S3. Namun, dalam rangka menyelesaikan penelitian di UI, tiba-tiba ia mengaku handphone-nya hilang di taksi online. Pantas saja jadi susah dihubungi.
Foto: Aprillia Ramadhina |
Dia merasa sedih banget, karena banyak banget kenangan sama handphone-nya itu. Akhirnya saya hiburlah dia dengan mengajaknya traktir minuman kesukaan dia, yaitu Chatime yang juga minuman kesukaan saya. Mungkin memang nggak akan menggantikan handphone-nya, tapi paling nggak, ya bisa senang-senang dikitlah. Jadi, nggak sedih-sedih banget dan meratapi handphone-nya yang hilang.
Sumber: Instagram @tcash_id |
Dalam rangka mentraktirnya minum Chatime, saya bayarnya pakai TCASH. Kenapa? Ya karena enak aja gitu, cashless, nggak ribet bawa uang tunai. Dan enaknya lagi Cara Isi Saldo TCASH gampang banget, bisa diisi di Indomaret, Alfamart, GraPARI, agen TCASH, mobile banking atau ATM. Saya sendiri suka isinya lewat ATM, tinggal pilih fitur “transfer ke bank lain”, terus tekan 911 untuk kode bank dan dilanjut nomor telepon.
Sumber: ww.tcash.id |
Merchant TCASH juga banyak banget, dan banyak merchant favorit saya. Bayarnya tinggal tap (stiker TCASH/NFC) atau snap (scan QR Code). Selain buat belanja di merchant fisik, TCASH juga bisa untuk belanja online, bayar listrik, tagihan air, internet, BPJS dan lain-lain. TCASH juga bisa untuk transfer uang, baik ke sesama pengguna TCASH atau ke rekening bank.
Dok.pribadi |
Yang paling enaknya lagi, TCASH
bisa dipakai oleh operator apa aja, nggak cuma Telkomsel. Karena apa pun operatornya, semua bisa #pakeTCASH. Yang penting kamu punya aplikasinya, untuk daftarnya kamu
bisa pakai nomor telepon dari operator apa aja. Asyik, kan? TCASH juga sering kasih banyak promo menarik, lho!
Sumber: www.tcash.id |
Sambil menyeruput minuman kami, kami pun bercanda-canda sambil saya merenung tentang hidup saya. Sejak dia di Indonesia, saya jadinya cukup sering sharing soal kegalauan saya terutama soal karir. Saya menamainya galau eksistensialis, hahaha. Nia salah satu orang yang tepat untuk dimintai pendapat mengenai kegalauan saya ini. Entah mengapa akhir-akhir ini saya jadi gampang pesimis.
Dok. pribadi |
“Kalau lo diminta untuk ngelakuin kerjaan di luar bidang kemampuan dan kapabilitas lo, apa yang akan lo lakuin?” tanya saya.
“Ya terima dan jalanin aja. Gue aja nggak sangka gue bisa jadi kayak diri gue
yang sekarang. Lo tahu, kan dulu gue kayak gimana, jangankan kuliah di Italia,
bahasa Inggris gue aja nggak becus," ujarnya.
Salah satu kendala yang dia ceritakan waktu kuliah di Italia adalah persoalan bahasa. Tapi, Nia aja yang boro-boro paham bahasa Italia, bisa juga akhirnya menyelesaikan kuliah di sana. Keterbatasan diri itu memang sebenarnya hanya tergantung mindset.
Salah satu kendala yang dia ceritakan waktu kuliah di Italia adalah persoalan bahasa. Tapi, Nia aja yang boro-boro paham bahasa Italia, bisa juga akhirnya menyelesaikan kuliah di sana. Keterbatasan diri itu memang sebenarnya hanya tergantung mindset.
Dok. pribadi |
Bagi saya, menyaksikannya menjadi
seseorang seperti sekarang adalah sebuah inspirasi tersendiri. Melihat ia
tumbuh dari seorang gadis desa yang keliling dunia untuk memenuhi hasrat akan
ilmu pengetahuan sungguh luar biasa.
Dia saja bisa melaju melampaui segala keterbatasan yang dia punya, kenapa saya harus pasrah dengan kekurangan saya? Ah, Nia, sedikit-banyak dia sudah membantu meringankan pikiran saya.
Saya nggak punya mimpi sebesar dia, dan di saat usia saya hampir 30 tahun, saya sedikit insecure karena belum punya pekerjaan yang settle. "Optimis, dong Pril! Gue aja yang dulunya waktu kuliah sering di-bully dan dikatain 'bocah kampung', ndeso, bisa jadi diri gue yang sekarang. Kalau gue aja bisa, masa' lo nggak. Gue kan waktu kuliah aja lebih cupu dari lo, hahaha,” pesannya.
Dia mungkin tidak memudahkan hidup saya dengan memberikan banyak hal, tapi lewat cerita hidupnya, melihat kemajuan hidup dia, saya jadi sadar, bahwa nggak ada cita-cita yang terlalu tinggi, dan nggak ada harapan yang sia-sia. Kisah hidup dia, dari seorang yang sering disepelekan bermetamorfosis menjadi cendekiawan, bagi saya sungguh mengagumkan. Dia juga selalu ada untuk saran-sarannya yang sering memotivasi saya. Terima kasih Nia, telah menjadi teman yang mendukung tanpa menghakimi.
Menjadi maju dan sukses bukan pilihan, tapi keharusan. Nia hanya bisa bergantung dan mengandalkan dirinya sendiri, saat tak ada orangtua yang menopangnya, tak ada keluarga tempatnya bersandar. Bahkan tanggung jawab yang diemban bukan untuk dirinya saja, tapi juga untuk adiknya dan keluarga besar dia yang justru harus dia berikan bantuan. Lebih dari untuk menyejahterakan diri sendiri, impiannya menjadi dosen, peneliti, hingga menteri telah membuktikannya bahwa ia punya kepedulian yang lebih besar terhadap negeri ini.
Saya nggak punya mimpi sebesar dia, dan di saat usia saya hampir 30 tahun, saya sedikit insecure karena belum punya pekerjaan yang settle. "Optimis, dong Pril! Gue aja yang dulunya waktu kuliah sering di-bully dan dikatain 'bocah kampung', ndeso, bisa jadi diri gue yang sekarang. Kalau gue aja bisa, masa' lo nggak. Gue kan waktu kuliah aja lebih cupu dari lo, hahaha,” pesannya.
Dia mungkin tidak memudahkan hidup saya dengan memberikan banyak hal, tapi lewat cerita hidupnya, melihat kemajuan hidup dia, saya jadi sadar, bahwa nggak ada cita-cita yang terlalu tinggi, dan nggak ada harapan yang sia-sia. Kisah hidup dia, dari seorang yang sering disepelekan bermetamorfosis menjadi cendekiawan, bagi saya sungguh mengagumkan. Dia juga selalu ada untuk saran-sarannya yang sering memotivasi saya. Terima kasih Nia, telah menjadi teman yang mendukung tanpa menghakimi.
Menjadi maju dan sukses bukan pilihan, tapi keharusan. Nia hanya bisa bergantung dan mengandalkan dirinya sendiri, saat tak ada orangtua yang menopangnya, tak ada keluarga tempatnya bersandar. Bahkan tanggung jawab yang diemban bukan untuk dirinya saja, tapi juga untuk adiknya dan keluarga besar dia yang justru harus dia berikan bantuan. Lebih dari untuk menyejahterakan diri sendiri, impiannya menjadi dosen, peneliti, hingga menteri telah membuktikannya bahwa ia punya kepedulian yang lebih besar terhadap negeri ini.
Hari pun mulai beranjak malam. Kami
pun pulang ke tempat tinggal masing-masing. Di dada saya merekah sebuah harap,
tak ada gunanya putus asa. Berhentilah mengkhawatirkan sesuatu berlebihan.
Lihat saja hidupnya Nia. Berkali-kali ia jatuh, berkali-kali juga Tuhan
mengangkatnya. Melihat perjuangannya, rasanya saya cemen banget kalau baru dapat ujian hidup dikit aja udah nyerah.
Dok. pribadi |
Saya mungkin nggak punya gairah akademis setinggi dirinya. Saya memilih berada di jalur yang berbeda darinya, tapi
saya ada di sisi lintasannya untuk mendukung dia mengejar impiannya. Semoga
Tuhan memeluk mimpinya. Nia tak perlu banyak bicara untuk menggurui saya.
Mendengarkan kisahnya, saya sudah mendapatkan pelajaran yang lebih banyak dari
yang diberikan seribu guru. Tanpa mengajarkan saya, saya sudah lebih dulu belajar banyak
darinya, tentang bagaimana menjalani hidup; yang sehidup-hidupnya.
Saya dan Nia di tahun 2010. |
Waaah so inspiring bangeet mbaak niaaa :) saluut sama ketangguhan dan kerja kerasnya, semogaaa mimpi menjadi menteri bisa terwujud, aamiin :D
BalasHapusmbaak aprill lama banget ndak mampir kesini, selalu cetaar dan menginspirasiiii :D
Amin, amin. Makasih Lucky, dirimu juga menginspirasi😁. Semoga mimpi-mimpimu juga terwujud yaaa
HapusLuar biasa tegar ya, demi cita-citanya dan mimpi ibunya, ia melewati ini semuanya. Semoga saja mimpinya bisa terwujud ya, aamiin... Ternyata ujungnya T-Cash, hehehe.. Wah saya pikir hanya pengguna telkomsel aja, ternyata bisa semua operator yah. Pengen nyobain sih
BalasHapusIyaa. Kalau saya di posisi dia, gak tau deh bisa kayak dia atau nggak hehe. Iya mas Hendra, aku bukan pengguna Telkomsel, tapi aku pengguna TCASH 😆
HapusBener mbak.... Mindset itu yang harus kita ubah... #jejakbiru
BalasHapusIyaa tapi ya mindset itu yang juga susah untuk diubah hahah
HapusWow UI 2007, saya lebih tua 3 tahun mba hehehe... Semangat dan salam buat sahabatnya mba April :)
BalasHapusWah iyaa? Jurusan apa Mbak. Iya makasih ya Mbak, semangat terus juga buat Mbak 😀
HapusKereeeeen nih inspirasinya. T-cashnya juga gak kalah keren. hehe... btw, itu tote bag nya mengalihkan fokusku... ada juga ya ..
BalasHapusAku dapet waktu liputan haha, kaosnya juga 😂
HapusLihat dari mukanya emang muka2 orang pinter nih temannya wkwkkw... Jd nggak kayak orang2 kebanyakan jg pasti pola pikirnya. Emm, betul banget ya, mungkin ada sebagian orang tua yg gak bisa kasih harta berlimpah tapi mereka bersungguh sungguh dlm memberikan ilmu ke anak2nya, salah 1 nya ya lewat pendidikan
BalasHapusMuka orang pinter tuh semacam dukun? Hahaha. Ya jadi prinsipku juga nih untuk anak, semoga bisa kasi pendidikan terbaik untuk dia 😀
HapusTemannya menginspirasi sekali. Kagum saya dengan pendidikan tinggi dan cita-citanya. Semoga sukses deh :)
BalasHapusAmin. Amin. Makasih Mbak. Sukses juga untuk Mbaknya yang namanya mirip saya hehehe
HapusTemennya keren banget, mbak. Itu sih poin yang penting: mau keluar dari zona nyaman. Kalau Nia tetep berada di zona nyaman sejak dulu, kemungkinan nasibnya nggak akan berubah seperti sekarang. Good luck untuk Nia! Salut untuk keinginannya yang besar: sekolah lagi. Saya mah habis nikah udah males sekolah-sekolah lagi. :D
BalasHapusBtw, saya juga pakai TCASH untuk beli-beli paket data. :)
Iya. Berani mecahin "cangkang" sendiri itu yang terkadang sulit justru 😁
HapusSiti emang semangatnya patut diacungin jempol. Cita-cita yang dia raih dan jadi nyata itu didapet dari kegigihannya. Dulu boleh ndeso, tp sekarang go global
BalasHapusIyak. Yang orang kota aja kalah dah ama gadis desa satu ini. Udah go international 😆
Hapuswalaupun saya tau ini artikel lomba dan ada soft selling promo dikit dikit tapi saya menikmati banget tulisan ini... hehehe baca nya bikin gak ngeh kalau mba april tengah menghipnotis pembaca untuk kenalan sama tcash. Juri harus banget nih menangin artikel ini. goodluck ya mba! salam sama Nia :))
BalasHapusMakasih banyak Mbak Rizka. Amin amin. Semoga ya Allah hihihi
HapusWah, ini sangat inspiratif, semoga saya juga bisa mengikuti jejaknya, biar makin banyak wawasan dan pengalaman
BalasHapusIya Mas, semangat terus ya, nggak penting dari mana asal kita, yang penting seberapa luas wawasan dan pengalaman kita hehehe
HapusWah, kita sama-sama lulusan Filsafat, tapi beda almamater. Salut dengan perjuangan Nia. Semoga tercapai cita-citanya menjadi menteri :)
BalasHapusAmin. Amin. Makasih banyak udah berkunjung Mbak. Semoga cita-cita Mbak kesampaian jg ya :)
HapusDuh, baca kisah Nia sangat tersentuh dan jadi pengin kuliah lagi. Usia menjelang 40 tahun begini sesekali masih kepengin sekolah lagi tapi pikiran dah banyak. Tapi llihat yang masih semangat, masak saya enggak. Layaklah ditraktir pakai TCASH, saya juga suka yang cashless, Mbak April. Praktis dan kalau pakai kartu-kartu suka lupa password. Semoa tercapai ya Nia jadi menteri.
BalasHapuskeren bangeeeet!! semoga cita2nya tercapai :)
BalasHapusBerkat kecerdasannya dan kemauannya belajar yang keras, sarana dan fasilitas kemudahannya belajar di Italy akhirnya terwujud.
BalasHapusSalam buat kak Nia ya, kak.
Sampaikan salam salut buat dia.
Sebagai mantan peneliti, saya jg gemas bgt sama regulasi, makanya sempat pgn jd walikota hihihi...
BalasHapusaku baca cerita tentang mba nia, terlebih sama2 berdarah kediri. waaah keren sekali beliau. saluuuut banget dengan ketekunan beliau. sampai berasa iri dengan keuletannya :(
BalasHapusWah keren sekali, sangat menginspirasi mbak...
BalasHapus