“Nggak akan ada berlian tanpa panas dan tekanan. Nggak akan ada anggur yang nikmat tanpa kesabaran" – Andes Rizky, co-founder & COO Shinta VR
Saya selalu tertarik dengan anak muda yang
berani menjadi pebisnis atau entrepreneur.
Saya pernah menjadi wartawan di sebuah platform media untuk komunitas millennial
kreatif di Indonesia yang salah satu cakupan topiknya adalah seputar
kewirausahaan dan startup. Saya cukup
sering mewawancarai entrepreneur
mulai dari Achmad Zaky pendiri Bukalapak, Natali Ardianto co-founder Tiket.com, Riana Bismarak pendiri Belowcepek.com, Ollie
pendiri Nulisbuku.com, dan lain-lain. Bertemu mereka saya selalu mendapatkan
energi dan inspirasi baru.
Nyatanya, selain mereka di sekitar saya ada
banyak orang yang memulai startup.
Salah satunya seseorang yang saya kenal baik sejak kuliah dan punya keberanian
membangun tren baru startup dengan
mendirikan startup di bidang industri Virtual
Reality (VR).
Andes Rizky namanya. Sekilas dari namanya
biasa saja. Tapi setelah mengenalnya, kamu akan tahu bahwa dia punya mimpi dan
ambisi yang besar. Laki-laki berusia 30 tahun ini punya sesuatu yang lebih dari
sekadar istimewa di mata saya.
Saya dan Andes kuliah di kampus yang sama,
Universitas Indonesia. Saya di jurusan Filsafat, sementara dia di jurusan
Fisika. Iya, Fisika. Yang mumet dan ngejelimet itu. Tapi, mengenal Andes nggak
serumit itu, kok. Andes nggak tampak seperti anak-anak sains yang terkena
stereotip serius, kaku, membosankan, dan wajah seperti rumus. Andes punya
pribadi yang lebih cair dan luwes. Karena, kalau dia kaku, mana bisa bergaul
sama saya yang jelas-jelas beda jauh dari segi jurusan, fakultas dan angkatan.
Andes angkatan 2005 sementara saya angkatan 2007. Satu-satunya kesamaan kami
cuma sama-sama berzodiak Aries dan lahir di bulan April (oke, ini info nggak
penting).
Setelah lulus kuliah, saya dan Andes hampir
nggak pernah berkomunikasi. Sampai dia menikah dan saya juga menikah. Waktu
saya kerja di sebuah majalah dia ngabarin kalau dia lagi buat startup di bidang VR dan ingin kerja
sama dengan media saya. Sayangnya, karena satu dan lain hal kerja sama itu
tidak bisa terlaksana. Tapi, saya menyimpan sesuatu di dalam hati. Suatu hari,
saya ingin menulis tentang Andes. Tentang bagaimana ia mendirikan startup-nya itu.
Akhirnya, kesempatan itu pun datang. Saya
mendapat info bahwa MyRepublic dan Deutsche Welle TV mengadakan Blog & Vlog Competition bertema #StartupLyfe. Dalam
lomba itu peserta bisa bercerita tentang seseorang yang memiliki keberanian
untuk membangun tren baru startup.
Satu nama langsung mencuat dalam benak saya, siapa lagi kalau bukan Andes
dengan startup VR-nya. Saya kemudian
membuat janji untuk bertemu dengannya di sebuah mall di kawasan Tangerang. Ia
pun dengan lancar bercerita tentang kisah yang melatar belakangi berdirinya
Shinta VR – startup yang ia dirikan
bersama co-founder dari Jepang, Akira Sou.
Seorang Anak dari Keluarga Broken Home yang Bermimpi Menjadi Pengusaha Sukses
Andes saat masih kuliah, sudah punya minat di bidang film |
Saya selalu punya keingintahuan yang besar
mengenai latar belakang seseorang. Apa yang dialami seseorang dari kecil hingga
dewasa tentu akan membentuk karekter dan pribadinya hingga di masa mendatang. Sejak
mengenal Andes, saya merasa dia orang yang cukup ambisius. Tapi, ternyata itu
dilatarbelakangi oleh pengalaman hidup yang tidak selalu manis.
Saat menginjak bangku SMA, Andes mengalami broken home. Ayah dan Ibunya bercerai
karena masalah ekonomi yang melanda keluarga. Ia pun bersama adik-adiknya
memilih tinggal bersama Ibu. “Keadaan ini memaksa gue untuk menjadi sosok
kepala keluarga bagi adik-adik yang masih kecil.” ujarnya saat mengenang masa
lalu itu.
Dengan kondisi keuangan keluarga yang terbatas,
Andes harus bekerja dulu setelah SMA untuk mengumpulkan biaya kuliah. Sembari
bekerja, ia mempelajari semua bahan ujian untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri. “Saat
itu keinginan gue hanya dua. Sains atau seni. Karena keduanya adalah favorit gue sejak kecil. Namun karena tahu kuliah seni mahal, gue akhirnya
memilih sains. Dan gue diterima di jurusan Fisika UI pada tahun 2005.”
Sejak awal masuk kuliah, hampir semua biaya ia
tanggung sendiri. Dari pagi hingga sore ia kuliah dan dari sore hingga malam
hari ia lanjutkan dengan bekerja sebagai guru privat. “Nggak banyak waktu untuk
bermain dan pesta kala itu. Waktu luang gue biasanya dihabiskan untuk pacar,
teman-teman dekat, dan komunitas film.”
Satu momen yang tak terlupakan bagi Andes
adalah ketika saat pembicaraannya dengan beberapa teman di meja kantin.
Beberapa temannya ada yang mengambil kesimpulan bahwa orang-orang hebat di
Indonesia ini terlahir dari keluarga yang juga hebat. Mereka setidaknya punya
sokongan dari orang tuanya. Baik berupa materi, nama, koneksi, atau setidaknya
bukan berasal dari keluarga broken home.
Mereka dapat didikan dari Ayah dan punya sosok yang bisa dijadikan pedoman. Sebagian
temannya itu berpikir dibalik kesuksesan orang-orang hebat di Indonesia, pasti
ada bayang-bayang nama ayah mereka di sana.
“Gue saat itu hanya terdiam dan berpikir. Apakah
anak yang tidak punya sosok Ayah sebagai pedoman, tidak berasal dari keluarga
dengan jaringan bisnis hebat, serta tidak punya darah bisnis bisa mengendalikan
hidupnya sendiri? Bisakah menjadi seorang pengusaha sukses? Keadaan ini yang
membuat gue berpikir bahwa gue harus bisa membalikkan keadaan. Gue mulai
membuat perencanaan hidup, termasuk di dalamnya adalah menjadi entrepreneur pada usia 30 tahun.”
Tempaan-tempaan dalam hidupnya itulah yang
menjadikannya seseorang yang keras untuk meraih tujuannya. Mandiri dengan
pijakan. Belajar menghitung perencanaan. Kesuksesan yang telah diraihnya bukan
dicapai karena faktor keberuntungan yang mungkin dikira sebagian orang. Melainkan
wujud dari ketekunan hati, kerja keras dan kemauan yang besar untuk terus
belajar.
Berawal Dari Mimpi di Bangku Kuliah: Harus Punya Bisnis Sebelum Umur 30 Tahun!
Saat kuliah, mulai dari semester lima, Andes
mulai mencanangkan taget masa depan untuk hidupnya. Ia mendaftarkan apa saja yang harus dicapai
dalam kurun waktu tertentu. “Sebelum umur 30 tahun, gue harus punya perusahaan
sendiri.” ujar pria yang juga ketua INVRA (Indonesia VR/AR Association) ini. Andes
terbiasa membuat target. Itu yang menjadikannya fokus terhadap apa yang ingin
ia raih. Dan, dengan kegigihannya, target itu pun tercapai.
Andes memulai usaha membuka semacam
kedai roti bakar di Cikarang. Bisnis kecil ini ia coba untuk tahu bagaimana
rasanya mengelola sebuah usaha. Jadi, saat itu yang dia lakukan murni untuk
mencari pengalaman.
“Untuk nantinya mengurus perusahaan yang lebih
besar, gue harus belajar dari yang kecil dulu. Usaha gue ini tempat gue
belajar. Gimana mau ngurus yang besar kalau ngurusin yang kecil aja nggak
beres?” paparnya. Setelah dua tahun berjalan, usaha ini ia hentikan. Karena dia
berpikir, sudah cukup dan ini waktunya berhenti. “Gue suka masak, tapi nggak
jago. Karena itu, usaha ini memang untuk menjajal kemampuan gue berbisnis.
Tapi, gue memang nggak kepikir untuk menjadikannya usaha jangka panjang. Nggak
ada dalam bayangan gue untuk menjalankannya 10 – 20 tahun ke depan. Gue harus
bikin yang lebih besar dari ini dan yang memang sesuai dengan minat dan
keahlian gue.”
Risk Taker yang Penuh Perhitungan
Kejarlah passion-mu,
jadilah orang-orang yang berani mengambil risiko besar. Kita mungkin sering
mendengar ini dari orang-orang yang memberi motivasi untuk berbisnis. Tapi,
seberapa banyak motivator yang mengajarkan untuk berhitung? Berhitung untung
ruginya. Mempersiapkan perbekalan dan parasut sebelum terjun agar tidak terjun
bebas tanpa arah.
Karena tidak ada keberanian yang disertai perhitungan yang cermat itulah, banyak orang yang mundur dan mengubur passion mereka. Bagi sebagian orang, buat apa mikirin passion, kalau nggak bisa makan? Buat apa ambil risiko besar kalau keluarga terlantar? Mengedepankan passion tanpa perhitungan yang matang di mata saya adalah orang yang egois. Tapi, demi kemapanan dan kestabilan, banyak orang yang mengesampingkan mimpi-mimpi terpendam mereka. Namun, itu semua tidak berlaku untuk Andes. Ia berhasil menyeimbangkan mimpi-mimpi besarnya dengan realitas kehidupan yang harus ia jalani. Memiliki keluarga, justru membuatnya semakin gigih bergelut dengan passion-nya dan meraih apa yang memang sudah ia tergetkan.
Melalui Tahapan Riset yang Panjang Sebelum Memutuskan Mendirikan Startup Virtual Reality
Tahun 2014, saat itu Andes masih bekerja kantoran
di sebuah perusahaan swasta di daerah Cikarang. Ia mulai kembali menyusun
rencananya untuk mewujudkan mimpi yang ia targetkan sejak di bangku kuliah;
harus punya perusahaan sendiri. Bukan hanya sekadar bisnis biasa tapi yang bisa
establish untuk jangka panjang dan
yang bisa mengakomodir passion-nya
dalam bidang sains dan seni.
Ia melakukan riset tentang tiga hal.
Pertama, ia meriset tentang graphene. “Graphene adalah material karbon paling
tipis dan punya sifat fisika serta kimia yang bagus banget. Dia punya kekuatan
elastisitas yang besar. Graphene bisa dimanfaatkan menjadi banyak hal.”
jelasnya.
Ia pun punya ide yang luar biasa brilian. Perhatiannya
akan sulitnya air bersih di masa mendatang dan melihat kuantitas air laut yang
melimpah membuatnya ingin mengubah air laut menjadi air yang bisa diminum. “Gue
menemukan jurnal penelitian yang mengatakan salah satu manfaat graphene ialah
dapat dikembangkan untuk penyulingan air laut menjadi air siap minum.” Untuk
yang satu ini, ia berpikir tidak terlalu jauh dari latar belakang kuliahnya
yaitu fisika.
Hanya saja, pengembangan graphene ini masih dalam
skala laboratorium. Harganya masih mahal, prosesnya susah. Apalagi kalau dibuat
untuk produksi massal. Untuk mendalaminya juga ia harus menempuh pendidikan
yang lebih tinggi lagi, atau paling tidak merekrut orang yang juga lebih
memahami. Terlalu complicated
menurutnya. Karena itu, ia mencoba meriset hal lain yang bisa ia kembangkan.
Hal kedua yang ia riset adalah tentang robot. Berhubung pekerjaan sebelumnya berkaitan dengan manufaktur, Andes merasa ingin membuat banyak hal yang bisa diautomatisasi untuk berbagai keperluan. “Gue sedikit mengerti sensor robot dan kenal dengan beberapa programmer. Tapi, semakin gue belajar tentang robot, gue sampai pada satu kesadaran, kalau ternyata gue nggak sejenius itu. Akhirnya gue memutuskan untuk mencari yang lain.”
Mengolaborasikan Sains dan Seni Melalui VR
Memutuskan tidak mempelajari lebih lanjut
tentang graphene dan robot, Andes mempelajari hal ketiga yang menarik
perhatiannya, yaitu Virtual Reality
(VR). Menurutnya VR lah yang bisa mengakomodir minatnya atas sains dan seni.
“Tahun 2014 gue beli Oculus Rift DK1 (Development Kit 1). Gue beli dari Amerika
dan nunggu satu setengah bulan untuk barangnya sampai ke Indonesia.” Saat
barangnya sampai ke tangan dia, dia pun langsung membongkarnya. “Gue lihat
komponen elektronik di dalamnya, dan ternyata sederhana banget. Gue mutuskan
kalau gue juga bisa bikin yang kayak gini.”
Andes pun bertaruh dengan dirinya sendiri. Jika dalam kurun waktu enam bulan keluar lagi versi terbarunya dan sesuai prediksinya, berarti industrinya memang sudah terbentuk dan ia akan benar-benar terjun ke bidang Virtual Reality. Ternyata benar. Tidak sampai enam bulan, versi pembaruan dari DK1 keluar, yakni DK2 (Development Kit 2) dengan peningkatan kualitas di sana-sini. Ia pun membelinya lagi dan membongkarnya lagi. Di situlah Andes memutuskan akan serius menekuni VR dan terus mendalami risetnya.
Komponen elektronik dalam VR bisa Andes mengerti. “Simple science” ia menyebutnya. Untuk seninya juga ia merasa bisa eksplorasi. “Gue bisa masukin futuristic art, surreal art ke device-nya. Sangat bisa dikembangin dengan pengetahuan sains yang terbatas di otak gue. Sisi teknologinya ada, sainsnya ada, seninya juga ada dan semuanya masuk dalam kapabilitas otak gue.” ujarnya.
Yakin VR akan Semakin Digilai di Masa Depan
Usaha Andes untuk menyebarluaskan pemahaman tentang
VR bisa dibilang tidak mudah. Ia membuat tim kecil yang terdiri dari 4 orang, 1
orang programmer, dan dua orang 3D artist saat memulai usahanya sebelum
menjadi Shinta VR. Ia mengenalkan VR ke banyak komunitas, membawa alatnya untuk
demo dan presentasi. Hanya saja, tidak banyak yang meresponnya dengan serius.
“Banyak orang yang cuma bilang, ‘wah keren ya’, tapi mereka juga nggak paham
gunanya untuk apa.” Butuh waktu untuk membuat orang mengerti dan akhirnya ia
mendapat project satu per satu. Dari
situ, dia dan timnya bisa membeli beberapa aset.
Meski jalannya tidak mudah, Andes yakin bahwa
ke depannya VR akan lebih diminati. “VR sudah ada sejak tahun 1970-an hanya
saja baru acceptable sekarang. Karena
baru sekarang teknologi dan software-nya
mendukung.” jelasnya. Setahun terjun di industri ini dari tahun 2014 – 2015 dan
mengerjakan beberapa project membuatnya semakin yakin kalau VR bisa
dikembangkan untuk jangka panjang.
Bersama Akira Sou mendirikan Shinta VR
Andes tergabung dalam sebuah fanpage Facebook komunitas VR di
Indonesia. Pada suatu hari, Akira Sou, yang berasal dari Jepang yang juga
menggeluti VR ingin ke Jakarta dan bertemu dengan orang yang juga bergiat di
VR. Akhirnya, Andes bertemu dengan Akira. Mereka pun saling bercerita tentang
perkembangan VR di Jepang dan di Indonesia.
Lebih lanjut, Akira ingin mengenalkan Andes
dengan beberapa VR engineer di
Jepang. Hanya saja, Andes sempat merasa ragu. Perjalanan ke Jepang tentu tidak
memakan biaya yang sedikit. Akan tetapi, kebetulan terjadi lagi. Bosnya di
kantor mengajaknya ke Jepang untuk urusan pekerjaan. Akhirnya, bertemulah lagi
Andes dengan Akira dan orang-orang yang juga mengulik VR di Jepang.
Dari pertemuan itu mereka sepakat untuk tes market di Indonesia. Mereka pun membuka stand VR di acara Anime Festival Asia
(AFA) 2015 yang berlangsung di Kemayoran. Mereka sengaja ingin tahu apakah VR
bisa diterima di acara yang bukan berisi tentang teknologi. Nyatanya antusiasme
pengunjung begitu luar biasa terhadap VR.
Tim Shinta VR |
“Di sana kami sediakan 5 Oculus Rift yang
sudah ada game-nya. Gue penasaran,
bisa nggak VR ini nge-attract orang
untuk datang dan nyoba. Ternyata berhasil. Setelah nyoba mereka pun tertarik untuk
beli. Di sana gue sediain Google Cardboard yang sudah berisi game yang bisa mereka beli. Awalnya kami
hanya menargetkan habis satu kardus, yang berisi 150 cardboard. ternyata yang laku terjual sampai tiga kardus. Beyond expectation.”
Akhirnya, Januari 2016, Shinta VR resmi didirikan Akira Sou dan Andes Rizky dengan legal. Nama Shinta sendiri diambil dari nama Dewi Shinta, tokoh perempuan cantik yang ada di kisah Ramayana.
Akhirnya, Januari 2016, Shinta VR resmi didirikan Akira Sou dan Andes Rizky dengan legal. Nama Shinta sendiri diambil dari nama Dewi Shinta, tokoh perempuan cantik yang ada di kisah Ramayana.
Menemukan “Calling” dan Berhenti Kerja Demi Startup Saat Istri Sedang Hamil
Andes dan istrinya, Jelita |
Pertemuannya dengan Akira di Jakarta, yang
dilanjut dengan perbincangan kerja sama di Jepang untuk acara AFA serta
suksesnya mereka di acara besar tersebut merupakan rangkaian kebetulan yang
dirasanya terjadi begitu ajaib. “Semua rentetan peristiwa dan kebetulan yang
terjadi semakin membuat gue yakin kalau ini panggilan gue. I found my calling. Terlebih acara di AFA yang bikin kita
kewalahan, bikin keyakinan gue bertambah berkali-kali lipat.”
Karena kesuksesan di acara AFA itulah, mereka
pun ingin melanjutkan bisnis VR ini lebih serius lagi. Melihat antusiasme orang-orang
di acara tersebut bisa sebesar itu, berarti environment-nya
sudah mulai bisa terukur. Namun, untuk melanjutkannya secara serius, Andes
dihadapkan pada pilihan, yaitu berhenti dari pekerjaan tetapnya.
“Saat itu istri gue lagi hamil. Paling nggak
kalau gue resign, gue harus dapetin
minimal tiga project dulu untuk diri
gue pribadi. Gue nggak bisa gambling.
Gue harus lihat realitasnya. I have a
family. Gue punya keluarga.” Akhirnya, apa yang dilakukan Andes? Membuat
perhitungan secara rinci. “Istri gue cuma bilang, kalau jodoh nggak kemana.”
Andes pun bikin perhitungan tentang cash
flow dia, untuk menjamin hidupnya dan keluarganya ke depan. “Kalau mau
serius bikin perusahaan, harus pekerjakan orang yang memang kompeten, dan punya
aset yang mumpuni. Gue kasih hitung-hitungannya. Kalau ada investor, gue baru akan resign.”
Awalnya Andes yang ingin resign di pertengahan 2016 akhirnya berhenti kerja di Desember
2015, karena ada angel investor yang
mau menginvestasikan untuk Shinta VR. Pada Januari 2016 itulah lahir Shinta VR
secara legal dan Andes resmi full time
di sana. Saat itu kantornya ada di Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Fokus bisnisnya
adalah membuat konten VR untuk korporasi.
Lambat laun, semakin banyak project yang berdatangan, terus meningkat sampai bisa merekrut orang lagi. Tim yang awalnya berjumlah empat orang kini sudah menjadi 17 orang. Februari 2017 Shinta VR sudah balik modal atau istilahnya Return on Investment (ROI). Bahkan kini revenue nya sudah 2,5 kali lipat dari investasi awal. Semua datang dari project dan bukan dari investasi lanjutan. “Kita nggak ngoyo cari investor lagi. Karena kita fokus ke business service aja. Belum terlalu butuh juga. Nggak terlalu nyari. Karena itu second option.”
Ini membuat mereka bisa merekrut orang lebih banyak dan pindah ke kantor yang lebih besar. Setelah dari Sabang dan pindah ke Palmerah pada Januari 2017. Maret 2018 mereka akan pindah kantor lagi ke kawasan Gading Serpong. Demi mendapat tempat yang lebih besar, lebih baik, dan lebih mudah dijangkau tanpa perlu menghadapi kemacetan yang menggila. “Banyak tim gue yang udah kecapekan di jalan menuju kantor. Alhasil waktunya untuk produktif di kantor jadi terpangkas.”
Mendirikan usaha secara resmi di usia 29 tahun
apakah saat itu ada pikiran atau ketakutan akan kegagalan dan adakah rencana
cadangan jika apa yang dirintis tidak berhasil? Andes menjawab mantap tidak
ada. “Kalau gue punya side plan,
berarti gue nggak bener-bener fokus sama yang gue jalanin. Gue nggak kepikiran
gagal sama sekali. Gue udah ngulik VR ini setahun. Peluangnya besar. Gue nggak
butuh plan B atau rencana cadangan lainnya.”
Perhitungan yang cermat membuatnya tidak takut gagal. “Ke depannya kami akan bikin diversifikasi lini usaha. Dua tahun ini hanya VR saja nantinya juga akan merambah ke Augmented Reality (AR) dan Mixed Reality (MR).” Saat ini Shinta VR juga tengah mengembangkan mindVoke. MindVoke merupakan platform virtual reality yang mudah untuk digunakan. Kamu bisa berkreasi sendiri membuat konten VR yang interaktif dengan fitur sederhana.
Di mata saya Andes bukan sekadar cerdas, tapi juga berani dan visioner. Tidak banyak orang yang berani keluar dari zona nyamannya untuk membangun sesuatu dari nol di saat di depan mata sudah ada kemapanan yang dijalani. Di sisi lain, ia meneropong jauh ke masa depan. Ia menunjukkan bahwa passion yang dikedepankan bisa tetap memberikan kestabilan penghidupan. Passion yang ia pahami bukan passion yang salah kaprah, yang dikejar tanpa amunisi apa-apa seperti orang yang terjun bebas tanpa parasut.
Passion bukan tentang keegoisan memburu hal yang paling sesuai jati diri. Apa yang ia impikan, apa yang ia bisa lakukan dan apa yang ia pelajari nyatanya berbalut dengan aneka keajaiban yang tidak hanya mewadahi dia dan segala ambisinya. Tapi juga tetap memedulikan dan menomorsatukan keluarga.
VR Impact, Memeratakan Edukasi di Berbagai
Wilayah
Dengan VR orang bisa membebaskan fantasi dan
imajinasi yang memberi kepuasan pada diri. Merasakan pengalaman visual menjadi
jauh lebih real dan seolah-olah
benar-benar nyata dan sungguhan. Akan tetapi, VR tidak melulu bicara hanya
sebatas yang indah-indah saja. Ada dampak sosial yang tidak bisa dikesampingkan
begitu saja. VR tidak hanya menghadirkan hiburan semata, tapi lebih dari itu,
bagi Andes, melalui Shinta VR, ia ingin mengoptimalkan VR untuk edukasi di Indonesia
dengan turut mendukung pemerataan pengetahuan.
“Lab Fisika di Jakarta sama lab Fisika di
Papua tentu beda fasilitasnya. Sawah di Sumatera nggak bisa kita bawa ke Jakarta
untuk bahan belajar dan praktik bertani. Dengan VR, semua limitasi ini nggak
ada lagi. Kita bisa bikin experience
how-to-do yang sama untuk semua area. Nggak usah pusing lagi masalah
distribusi pengetahuan karena limitasi infrastruktur.” jelas Andes.
Ia pun mencotohkan dengan apa yang kini tengah
dilakukan ia dan timnya. Membuat VR untuk alat riset kebiasaan orang belanja di
mini market dan supermarket. “Bayangin kalo 500 responden di suruh ke sana akan
habis biaya berapa? Belum lagi model minimarket di Jakarta dan Jogja misalkan,
pasti ada bedanya. Dari display, dan
lain sebagainya. Di VR, researcher
tinggal pasang ini-itu di software-nya
dan kasih ke responden. Tanpa harus bawa mereka ke tempatnya.” Masalah seperti
itu bisa diselesaikan dengan VR secara real
dan lebih terukur.
Lebih lanjut lagi Andes mengatakan pengaplikasian teknologi
VR bisa mengoneksikan tidak hanya logic
to logic tapi empati ke empati. “Karena teknologi VR bisa gabungin empati
dan teknologi. Bisa jadi alat buat belajar, riset, dan lain sebagainya tanpa
harus keluar banyak biaya dan waktu untuk membuatnya. Ini yang Indonesia
butuhkan untuk tahun-tahun mendatang. Di mana informasi kacau balau
berseliweran tanpa empati.”
Merenungi Serentetan Kebetulan yang Ajaib
Andes berulang kali mengatakan bahwa
banyak kebetulan yang secara ajaib terjadi dalam hidupnya. Pertemuan dengan
Akira di Jakarta, kepergiannya ke Jepang, kesuksesan di AFA, hingga adanya
angel investor yang mau mendanai startup-nya
adalah serentetan keajaiban yang nyata ia rasakan.
Saya juga termasuk orang yang sering
mengalami kebetulan ketika hendak meraih sesuatu. Lambat laun, ketika kebetulan
itu sering berulang dan memiliki pola yang unik, saya percaya bahwa itu adalah
keajaiban. Ketika kita sudah meniatkan sesuatu, semesta akan menggerakkan energi-energi
yang sefrekuensi dengan kita. Barangkali, bincang-bincang saya yang cukup
panjang lebar dengan Andes ini dan jika ditarik mundur dari pertama mengenal
Andes beberapa tahun lalu, adalah juga bagian dari kebetulan, –
sebuah kejaiban.
"Once you make a decision, the universe conspires to make it happen." - Ralph Waldo Emerson
#StartupLyfe #DWVlogCompetition #MyRepublicIndonesia
Foto feature image: Aprillia Ramadhina
Sumber foto lainnya: Facebook Andes Rizky, Facebook Shinta VR, & www.shintavr.com
Inspiratif mbak. Senang makin banyak anak muda Indonesia yang makin tertarik mengembangkan startup Apalagi VR ini benar-benar lagi booming.
BalasHapusSemoga Shinta VR makin maju dan membawa dampak positif yang makin luas. Ohya mbak April, saya jadi penasaran kenapa awalnya Andes memilih nama Shinta tersebut?
Makasih udah baca mbak :). Iya d masa depan akan makin booming lg. Itu dr dewi shinta mbak, hihi lupa kutulis. Tp krn diingatkan jd kutambahkan. Makasih ya :)
HapusWooooow .. keuletannya luar biasa yaaaa.
BalasHapus'tidak takut gagal'
Kayaknya ini nih modal utama yg perlu dimiliki oleh orang2 yg pengen sukses. Tfs ya, bermanfaat banget.
Betul mbak, pebisnis itu mentalnya baja-baja selain ulet. Dan satu lg, ga takut sama cibiran orang :)
HapusKeren banget neh, tidak kenal menyerah dan semangat ya orangnya. Makasih sharingnya.
BalasHapusIya aku beruntung jadi temannya hihi. Jadi bisa belajar banyak 😀. Indonesia butuh orang2 lain seperti Andes. Muda, pantang menyerah.
Hapuspemikiran kyk gini selalu bikin aq ternganga mba, sukses buat Andes n mimpinya :)
BalasHapusMakasih Mbak, sukses juga untuk Mbak Desi 😀
HapusSelama baca tulisan ini, saya merinding Mbak. Mbak nulisnya cakep banget. Sampai saya kayak ngerasa gimana sih perjalanannya Andes dari nol sampai naik. Jarang bener ada orang yang visioner tapi bisa perhitungan dengan detail dan instingnya kuat. TFS Mbak, udah bikin tulisan kayak gini. Selama baca, saya jadi mikirin apa saja yang juga mesti saya lakukan kalau saya ingin ngewujudin mimpi saya.
BalasHapusIya Mbak kalo ga ngitung2 dgn bener dia ga mungkin rela resign gitu aja hehe. Makasih jg udah baca Mbak. Selamat mewujudkan mimpinya juga 😀
HapusSelalu suka ngeliat anak muda yang mendirikan start up, kreatif kreatif banget idenya yaaaaa <3
BalasHapusIya kak inspiratif dan berani. Salut. Indonesia itu bertebaran orang kreatif sebenernya
HapusSelalu kagum dg anak muda yg berani mandiri dan memulai usahanya dari nol. Dengan kemampuannya sendiri tanpa campur tangan keluarga.
BalasHapusBetul bgt mak. Jalannya mgkn ga semudah orang2 yang punya nama besar orangtuanya, tapi kepuasannya pasti jauh lebih terasa kalo bisa sukses karena jerih payah sendiri
Hapuswah ini pacar idaman buat para wanita.
BalasHapusHahaha semoga makin banyak ya Andes2 lain yg masih single. Yang ini mah udah buat istrinya aja 😁
Hapuspunya ide tapi gak tau cara mewujudkannya gak bakal jadi seperti Andes ini ya mbak :) Salut sama dia yg punya semangat juang tinggi
BalasHapusIya Mbak. Ide sebrilian apa pun kalo ga dieksekusi ya ga akan jd apa2. Semoga kita semua selalu punya semangat yang tinggi juga ya untuk semua yg kita jalani 😊
Hapus