Tahun ini perhelatan seni kontemporer Jakarta Biennale kembali digelar. Mengambil
tema “Jiwa”, Jakarta Biennale 2017 diselenggarakan di empat lokasi, yakni Gudang
Sarinah Ekosistem, IFI (Institut Français d’Indonésie), Museum Sejarah Jakarta, serta Museum Seni Rupa dan Keramik. Diadakan mulai dari tanggal 4 November
hingga 10 Desember 2017, acara ini melibatkan 51 seniman yang berasal dari
dalam dan luar negeri. Karena saya sedang melakukan tour wisata museum dengan
teman saya Fitri Kumalasari, sekalian saja saya melihat pameran seni ini di
Museum Seni Rupa dan Keramik di kawasan Kota Tua, Jakarta.
Mungkin ia membaca
kebingungan di wajah saya. Ia kemudian meraih bola kecil yang tergantung
menjuntai dari atas tembok tersebut dan mengayunkannya sampai kena ke
tembok hingga terdengarlah bunyi berdentum. “Begitu cara mainnya, Mbak.” ujarnya
sambil tersenyum. “Oh, kirain cuma boleh dilihatin aja Mbak, hehe. Makasih, ya.”
Saya pun langsung mencoba,
mengayunkan bola seperti bandul itu dan…
“Daannggg…” terdengar bunyi yang
begitu keras ketika bandul itu terbentur ke dinding.
Saya mencoba mengayunkan bandul yang ada di
bagian yang lain.
“Tuunnggg…”
Ternyata setiap bandul yang terbentur
itu akan menghasilkan bunyi-bunyi yang berbeda. Bunyi yang saya sendiri tidak
bisa pahami itu bunyi apa. Saya langsung melihat judul karyanya dan nama
pembuatnya. Judulnya, “Kehidupan di Dinding Besar, Kabarnya Keras". Senimannya,
Wukir Suryadi. Mbak-mbak yang menjaga pameran tadi memberikan selembar kertas
pada saya. “Ini penjelasannya, Mbak, kalau mau lebih tahu soal karya ini.” Saya
pun membuka kertas itu dan membaca penjelasan salah satu kurator Jakarta Biennale 2017, Hendro Wiyanto tentang
karya Wukir tersebut.
“Wukir menggubah suatu eksperimen
sumber dan obyek bunyi yang berasal dari konfigurasi sabuk pelat kuningan.”
Saya kemudian melihat pelat-pelat kuningan yang melintang di tembok besar
berwarna hitam itu, memang seperti dawai raksasa. “Dinding besar bagi Wukir
menyimpan rahasia-rahasia besar dan keras, menciptakan segregasi, sekat-sekat
antara kami dan kalian. Bunyi yang dihasilkan dari karyanya adalah representasi
sesuatu yang tidak kita ketahui. Gaung bunyi dari obyek itu adalah peristiwa
pantulan sekat dan batasan yang ada pada diri tiap audiens karyanya.” Begitulah
kurang lebih pemaparan Hendro Wiyanto.
Meresapi Bunyi Tak Bernama
Saya lanjut mengayunkan bandul-bandul
itu lagi. Ada yang saya ayunkan perlahan dan hanya menyentuh dinding sekilas serta
menimbulkan sedikit getaran. Ada yang saya lempar dengan sedikit menghentak dan
menghasilkan getaran yang lebih terasa. Jarak pantulan dan energi yang dikeluarkan ternyata
mempengaruhi bunyi yang dihasilkan.
Saya ulangi berkali-kali sampai saya
merasakan bunyi-bunyi abstrak itu lahir dari tindakan-tindakan saya, yang juga
tidak kalah abstraknya. Bunyi yang timbul begitu misterius. Entah nada apa,
entah suara apa. Saya kemudian mengumpamakan bahwa dinding besar berwarna hitam
ini adalah sekat-sekat yang ada di dalam jiwa kita. Bagi saya dinding besar
berwarna hitam itu adalah sekat antara saya dengan diri saya.
Bayangkan jiwa
seseorang yang ada tembok besar dan berbunyi ketika ada benturan-benturan yang
dilayangkan. Benturan yang bisa berasal dari pengalaman, perasaan, dan emosi. Gaung
yang merambat itu seperti menyuarakan tempaan-tempaan di jiwa yang didapat dari beragam gejolak rasa.
“Dang…”
“Tuung…”
“Trangg…”
Bunyi-bunyian tak beraturan itu gaduh
di jiwa saya. Mungkin, semakin tebal sekat itu maka akan semakin keras benturan
yang datang. Atau bisa juga benturan-benturan itu justru yang membuat sekat semakin
menjulang dan kokoh. Melebur dengan karya Wukir membuat saya belajar menyadari
dentuman-dentuman paling dalam di jiwa saya. Bunyi-bunyian tak bernama itu
seolah menyentuh saya untuk lebih peka lagi terhadap benturan-benturan yang
bisa datang kapan saja, oleh apa saja dan oleh siapa saja.
Menemui Jejak-Jejak Kerumuman
Gali yang dalam! |
Beranjak keluar museum kami kemudian
masuk ke sebuah karya dari Pawel Althamer, berupa sebuah bangunan (atau apa ya menyebutnya?) setengah terbuka yang terbuat dari
bilah-bilah bambu dan dari luar tampak seperti gudang. Saat masuk ke dalamnya,
ada banyak gambar dan coretan-coretan yang dipajang, krayon yang berserakan,
kaleng bekas cat tembok, dan benda-benda lain yang membuatnya tampak
berantakan.
Saya pun membaca keterangan di katalog
yang saya download dari website Jakarta Biennale. Dalam katalog
tersebut dijelaskan bahwa karya Pawel Althamer yang berjudul “Krasnobrodzka
13/Gotong Royong-Wspólna Sprawa” (2017) ini merekonstruksi sebuah tangga di
salah satu blok rumah susun di Warsawa, Polandia, tempat sang seniman dulu
tinggal.
Memasuki ruang mungil yang berantakan
ini, saya seperti kembali ke masa kanak-kanak di mana saya senang sekali
bermain di loteng dengan teman saya. Loteng yang penuh dengan barang-barang tak
terpakai tapi bagi anak-anak seusia kami saat itu seperti tempat penuh harta
karun. Tempat kami bermain dengan imajinasi. Tak jauh berbeda dengan instalasi
Althamer ini. Meski saat saya ke sana, tidak ada orang yang
melakukan aktivitas di tempat ini, tapi saya bisa merasakan jejak-jejak keriuhan dan
kebersamaan yang ditinggalkan oleh kerumunan orang yang pernah berada di
dalamnya.
Untuk menikmati pameran seni ini kamu harus datang! Pengalaman estetika yang akan kamu rasakan tidak bisa diwakilkan hanya dengan menyaksikannya di media sosial. Ada keseruan yang harus kamu temukan sendiri dan biarkan "Jiwa" mu melebur bersama "Jiwa" seniman yang tertuang dalam karya-karya mereka. Partisipasi aktif kamu sebagai audiens ikut andil dalam proses "menjadi" dari karya yang ada.
Selain menyelenggarakan pameran seni rupa kontemporer, tiga
buku diterbitkan seiring penyelenggaraan Jakarta Biennale 2017. Buku-buku tersebut adalah
Melampaui Citra dan Ingatan: Bunga Rampai Tulisan Seni Rupa 1968–2017 dari
Bambang Bujono, Dari Kandinsky Sampai Wianta: Catatan-catatan Seni Rupa
(1975-1997) yang ditulis oleh Siti Adiyati dan buku buku Seni Manubilis Semsar
Siahaan 1952 – 2005 yang berisikan
ulasan, tulisan, dan arsip mengenai seniman Semsar Siahaan.
Jakarta Biennale yang Menyegarkan Museum
Menurut saya, Jakarta
Biennale yang hadir di museum mencairkan kesan kaku yang ada pada museum. Museum yang tampak usang, mendapat sentuhan penyegaran baru. Karena kita
tak bisa menutup mata, museum pada kenyataannya masih menjadi tujuan wisata
yang hanya didatangi sesekali. Kenapa? Karena masyarakat merasa untuk apa datang berkali-kali ke tempat yang mereka
sudah tahu isinya seperti apa, itu-itu saja dan begitu-begitu
saja.
Adanya Jakarta Biennale di museum membuat pengunjung jadi punya alasan
baru untuk datang ke museum. Bahkan, bisa menarik minat orang yang mungkin
belum pernah sama sekali berkunjung ke museum. Ini pun membuka kesempatan museum untuk
bisa lebih luas lagi dikunjungi oleh generasi muda. Tidak bisa dimungkiri,
Jakarta Biennale cukup mencuri perhatian anak muda artsy yang suka dengan seni. Dengan mengadakannya di museum,
anak-anak muda artsy ini tentunya akan sekaligus melihat koleksi-koleksi
museum yang lain. Ini bisa menimbulkan kecintaan baru di hati mereka tentang
museum yang semoga bisa mengubah paradigma mereka bahwa museum bukanlah tempat
yang membosankan.
“Hingga kini belum ada lagi
museum-museum konvensional di Indonesia yang menjembatani dulu dan sekarang
melalui seni. Inilah yang hendak diubah oleh Jakarta Biennale 2017. Sedikit
berbeda dengan banyak praktik yang sudah ada, Jakarta Biennale 2017
berinisiatif untuk membawa seni rupa kontemporer ke museum. ‘Jiwa’ sebagai
pilihan tema Jakarta Biennale tahun ini merupakan momentum yang tepat,
diwujudkan bersama pembaharuan yang dilakukan di museum-museum di bawah
pengelolaan pemerintah Jakarta hari ini, yang dimulai dengan Museum Sejarah
Jakarta dan Museum Seni Rupa dan Keramik.
Seluruh karya dipilih untuk mengundang
pengunjung museum memulai dialog dan tidak menerima bulat-bulat apa yang
disajikan oleh museum. Sebab, museum yang memiliki jiwa dan hidup dinamis
adalah museum yang memulai pertanyaan, diskusi, diskursi, dan menjadi ruang
untuk menguji ide-ide lama serta membuka kemungkinan mengkaji cara pandang
lain.” Itulah penjelasan Annissa Gultom, salah satu Kurator Jakarta
Biennale 2017 di dalam katalog.
Walaupun tak terlalu banyak karya
yang dihadirkan di museum jika dibandingkan yang ada di Gudang Sarinah
Ekosistem, inisiatif Jakarta Biennale 2017 untuk menjadikan museum
sebagai bagian dari lokasi penyelenggaraannya perlu diapresiasi dan diacungi
jempol. Walaupun agak disayangkan, untuk acara workshop, dan lain sebagainya
masih berpusat di Gudang Sarinah Ekosistem. Tapi, paling tidak dengan adanya
karya-karya ini, cukup mendenyutkan detak baru di museum. Mungkin juga sedikit lebih
dari itu, meniupkan jiwa yang lebih baru; yang lebih hidup.
Foto: Aprillia Ramadhina & koleksi pribadi
Foto: Aprillia Ramadhina & koleksi pribadi
Jakarta Biannale ini diadakan setiap tahun?? Namanya seorang seniman, terkadang karyanya sulit untuk dipahami kalau tidak "memakai" jiwa kita juga, contohnya kayak dinding hitam itu. Ternyata maknanya sangat dalam ya mba.... Bener-bener kreatif tanpa batas... Next di museum mana lagi nih?? Nice share
BalasHapusDiadain tiap 2 tahun, Mas. Pusatnya di Gudang Sarinah Ekosistem, Pancoran. Tapi serunya yg taun ini diadain jg d museum jd makin terbuka untuk publik yg lbh luas lg hehe
HapusSayang ya di Jakarta :( aku seneng banget kalo ketempat-tempat seperti ini..
BalasHapusNice post mba, salam kenal.. kalau berkenan follow balik blog saya ya ^_^ terima kasih
Mbaknya dmn? D jkt jg ga tiap saat ada acara bgni tp memang sering. Di galeri biasanya. Klo k jkt puasin Mba liat yg begini 😁
HapusTahun ini mau datang eh teryata harus ke luar kota. Padahal lihat banyak banget ya karya seni yang dipamerkan :)
BalasHapusYg bnyk di gudang sarinah. Taun ini kujuga ga ksana ini cm yg k museum
HapusInstalasi yang terbuat dari plat itu keren baanget. Aku paham-pahami kok masih enggak paham...makna instrinsik apa yang ingin disampaikan penciptanya...tapi dasar seniman...kalau sudah kreatif ya begitu itu...
BalasHapusYaa bgtulah mbak lbh baik dinikmati saja drpd pusing hihi
Hapus