Dalam pikiran
seorang tokoh psikoanalisis Sigmun Freud, perempuan memiliki kecemburuan
terhadap penis (laki-laki). Kepemilikan penis pada laki-laki terlihat sebagai
pelekatan sebuah citra akan kekuasaan. Rasa iri tersebut dikarenakan laki-laki
mempunyai akses untuk berbicara di muka publik, mampu berpartisipasi dalam
politik, bahkan untuk diakui dalam dunia seni. Kecemburuan itu lebih diarahkan
kepada hak-hak yang mampu dimiliki laki-laki, keleluasaan bagi mereka untuk
memainkan “power”, yang tidak dipunya oleh perempuan.
Karena itulah,
feminis postmodern, Luce Irigaray menekankan bahwa perempuan harus menjadi
subjek dan menciptakan bahasanya sendiri sebagai bentuk mengungkapkan diri. Di
sinilah aktualisasi diri menjadi mungkin, menyampaikan pemikirannya,
pendapatnya, juga perasaannya.
Mendefinisikan Ulang Kesetaraan
Ketika
feminis gelombang awal sibuk tentang memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan, Irigaray mencetuskan sebuah konsep perbedaan. Karena laki-laki
dan perempuan memang berbeda maka yang harus dilakukan adalah dengan membangun budaya perempuan-lelaki yang menghargai perbedaan
antara kedua jenis kelamin.
Ketika kita
berbicara mengenai gender dalam perspektif feminis postmodern, yang ditekankan
adalah memandang perbedaan. Ketika berbeda, di situlah kemanusiaan bekerja,
karena tidak ada yang setara. Perbedaan justru membuat keadaan saling menghargai
menjadi mungkin. Karena pada dasarnya dari segi seksualitas saja jelaslah
perempuan dan laki-laki itu berbeda, tidak bisa disamakan.
Persoalan
kesetaraan antara dua jenis kelamin, ada baiknya didefinisi ulang dan
dirumuskan kembali. Penindasan terhadap perempuan dapat ditutantaskan atau
paling tidak diminimalisir jika kita mau mengangkat sebuah narasi baru; bahwa,
perempuan berbeda.
Beban Ganda Perempuan
Kemajuan
zaman membuat perempuan semakin bisa bersaing dengan laki-laki. Akan tetapi,
itu membuka kemungkinan bagi mereka untuk mendapat tugas berlipat. Selain
berkarir, mereka tetap mendapat tuntutan untuk tak melupakan perannya di rumah
sebagai istri dan ibu. Hal ini tentunya akan menjadi sebuah ketimpangan. Pria
juga harus turut campur dalam berbagai tugas di dalam rumah tangga.
Meski banyak
perempuan yang sudah aktif masuk ke ranah publik, mengerjakan pekerjaan atau
melakoni profesi yang juga dilakukan oleh pria, kemudian yang menjadi pertanyaan,
apakah keadilan itu juga mereka dapatkan di ranah privat mereka? Apakah ruang
tempat mereka berkarya dan bekerja di luar rumah sama luasnya dengan ruang
mereka di dalam rumah tangga?
Jangan Segan Berbagi Beban Rumah Tangga dengan Laki-Laki
Seringkali
perempuan merasa segan untuk meminta bantuan suaminya mencuci piring atau
mencuci baju karena merasa itu bukan tugas laki-laki. Perempuan-perempuan ini
pun tetap menjalankan apa yang menurut mereka adalah tugas-tugas mereka meskipun
dalam hati merasa lelah dan ingin dibantu.
Pasangan
suami-istri pada umumnya tahu bahwa mendidik anak adalah kewajiban dua belah
pihak. Akan tetapi, bagaimana dengan pekerjaan rumah tangga? Apakah setiap
laki-laki sudah punya kesadaran penuh bahwa tugas domestik tidak hanya harus
dibebankan melulu kepada istri saja.
Banyak
laki-laki merasa enggan ke dapur karena menganggap, itu “pekerjaan perempuan”.
Masih merasa tak punya waktu untuk mengurus anak, karena berdalih sebagai
tulang punggung keluarga yang waktunya habis untuk pekerjaan. Padahal, mengurus anak dan mengerjakan tugas
rumah tangga adalah tanggung jawab bersama.
Bicara soal
urusan domestik rumah tangga tak hanya menjadi tanggung jawab perempuan sebagai
istri dan ibu. Laki-laki juga punya peran yang tak kalah penting sebagai
partner. Sudah bukan zamannya lagi laki-laki mengedepankan diri sebagai kepala
keluarga sehingga menghindar dari urusan domestik.
Perempuan Harus Bersuara
Menurut data
lembaga survey demografi dan kesehatan Indonesia Universitas Indonesia, jumlah
kematian ibu hamil, melahirkan dan semasa nifas yang terjadi di Indonesia
sepanjang tahun 2008 sampai dengan 2012 mencapai 359 orang per 100.000
kelahiran hidup per tahun. Artinya, tiap jam, 3 ibu Indonesia meninggal usai
melahirkan atau ada 44 ribu ibu per hari. Hal ini bisa diminimalisasi salah
satunya dengan melibatkan laki-laki sebagai pasangan yang terlibat aktif
(caregiving partners).
Angka
kekerasan terhadap perempuan juga masih mengkhawatirkan. Menurut catatan akhir
tahun yang dikompilasi oleh Komnas Perempuan dari berbagai institusi pemberi
layanan, baik berbasis komunitas maupun yang dikelola oleh pemerintah, pada
tahun 2011 terjadi 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani
dan dilaporkan, 95,61 % di antaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
atau sebanyak 113.878 kasus.
Perempuan
harus bersuara. Kekerasan akan semakin dilanggenggkan dengan
pembiaran-pembiaran yang dilakukan oleh perempuan itu sendiri. Tak sedikit dari
para korban kekerasan itu merasa bahwa pasangan mereka tidak melakukan
kekerasan. Mereka menerima dengan penuh pemakluman bahwa ketika pasangan mereka
melakukannya, itu hanyalah emosi singkat semata. Bagaimana kita menyelamatkan
seseorang yang bahkan tidak menyadari bahwa dirinya tengah menjadi korban?
Mari
kita bersama-sama membantu perempuan Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan
yang tidak disadarinya. Bantu mereka yang tertindas untuk berani bersuara dan
melawan pembungkaman. Pada akhirnya, narasi tentang menjadi perempuan Indonesia
belum sampai pada kata selesai. Perjuangan Kartini harus dilanjutkan dan jangan
sampai hanya berwujud pada tataran selebrasi semata.
Ilustrasi & foto: Aprillia Ramadhina
Ilustrasi & foto: Aprillia Ramadhina
Tulisan mbak April selalu Ciamik. Poin to pointnya mudah ditelaah.....Saya bersyukur bisa belajar menulis disini...terkait KDRT saya juga merasa beruntung tidak pernah mengalamainya mbak....TFS
BalasHapusMaaci mba yuni udh berkunjung, smoga kdrt smakin hilang dr muka bumi ini yaa
HapusAhhh.... keren bangettt tulisan iniiii. Tengkyu sharingnya mba
BalasHapus--bukanbocahbiasa(dot)com--
Makasih udh berkunjung dan komen, kak :)
HapusSetuju, perempuan mmg kudu bersuara, apalagi saat mengalami kdrt.
BalasHapusBbpra kali diceritain tmn, aktivis perempuan, permepuan yg mengalami kdrt, itu malah tidk sedikit yg menolak utk melaporkan kdrt yg mreka alami. Alasannya macem2, ada yg karena malu, ada yg takut nggak diberi uang bulanan lagi, ada yg takut dilaporkan balik, dan ada jg yg tdk mau karena diancam.
:(
Betul mba sedih yaa makany tiap perempuan msti mandiri, pny aktivitas lain dn pny bnyk tmn, spy klo diancam ga dikasi materi ttp bs biayai diri sndri, klo cm d rmh tok, ga ad tmn jg, bs2 ga ad yg tau klo dy knp2 :(
Hapus