“Melepaskan diri dari zona nyaman berarti berlatih mengakrabkan diri dengan kecemasan-kecemasan terdalam dan ketakutan-ketakutan mendasar yang bersemayam dalam diri, bergelut dengannya, dan mengatasinya.” – April Tupai
Saya orang yang tidak suka cemas. Saya rasa
kebanyakan orang pun begitu. Saya ingin yang pasti-pasti saja. Pada dasarnya
saya tidak suka menantang diri pada bahaya. Namun, nyatanya keputusan-keputusan
yang saya buat seringkali menyerempet pada jurang. Contohnya yang saya buat
sekitar bulan Oktober 2014. Ketika perusahaan media tempat saya bekerja sudah
hampir tutup. Direkturnya menawarkan saya untuk direkomendasikan ke beberapa
media lain.
Tawaran itu tidak saya ambil.
Sebelum ditawarkan olehnya pun, sudah ada
perusahaan media yang berniat mempekerjakan saya. Media yang sesuai dengan passion saya. Saya gamang setengah mati.
Saat itu saya sedang mengerjakan buku “Turn
on the Radio” yang berarti saya akan kesulitan menyelesaikan buku tersebut
jika bekerja menjadi orang kantoran yang waktunya tidak fleksibel. Sungguh pilihan
yang sulit. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya memilih melewatkan
kesempatan bekerja di media tersebut. Melepaskan sebuah gambaran yang
sebenarnya semakin mendekatkan pada mimpi saya sejak lama.
Karena, saya juga punya mimpi yang lain.
Saya penasaran menyelesaikan buku yang sedang
saya garap. Beberapa orang mungkin melihat saya bodoh telah melepaskan peluang
besar. Gaji yang ditawarkan media itu cukup besar. Saya akan punya penghasilan
tetap setiap bulannya. Sedangkan bayaran menulis buku pun baru dibayar setelah
buku selesai diluncurkan.
Ternyata menyelesaikan buku itu memakan waktu sampai
enam bulan. Itu artinya saya hidup selama itu tanpa penghasilan tetap. Tapi
Tuhan tidak tidur. Rezeki tidak hanya berasal dari satu sumber saja. Selain menulis
buku, saya bekerja serabutan. Menjadi kontributor di sebuah media kawasan, menjadi
jurnalis paruh waktu di sebuah media baru, menerima pekerjaan sebagai editor
lepas sebuah buku fotografi dan menulis siaran pers untuk acara-acara. Saya lakukan
apa saja untuk bisa menyambung hidup dari hari ke hari.
#MemesonaItu Berani Berkorban Demi Mimpi Besar
Sebagai freelancer, saya bebas travelling kemana-mana bahkan di hari kerja |
Lantas mengapa saya berani mengambil risiko
tinggi? Membuat keputusan besar yang berdampak membahayakan kelangsungan hidup
saya selanjutnya. Penasaran. Ya, rasa penasaran mungkin yang membuat saya
menjadi senekat itu. Saya penasaran menghasilkan buku dengan kemampuan sendiri,
saya ingin tahu seberapa panjang nafas
saya, seberapa kuat komitmen saya.
Alasan lainnya karena rasa bangga atas apa
yang saya tulis. Buku seperti ini belum pernah ada sebelumnya. Dengan menulis
buku ini saya seperti sedang “naik kelas”. Buku ini berisi kisah sukses tiga
belas penyiar radio. Di dalamnya bercerita tentang perjalanan mereka mulai dari
menjadi penyiar, pengalamannya, sampai menjadi orang yang sukses.
Saya merasa
ada peningkatan kelas yang sedang saya lakukan. Sewaktu menjadi wartawan, saya
menuliskan kisah hidup banyak sosok menarik, akhirnya saya diberi kesempatan
untuk membukukan kisah hidup orang terkenal. Saya merasa saya sedang meningkatkan
kemampuan saya ke jenjang yang lebih tinggi, mengembangkan hal-hal yang
sebelumnya sudah sering saya kerjakan.
#MemesonaItu Berani Membuat Keputusan dan Mengambil Risiko
Saat memutuskan menulis buku tersebut, saya
seperti menafikan persoalan uang, padahal saya tahu betapa saya membutuhkannya.
Pada akhirnya total saya menjadi pekerja lepas ialah satu tahun. Sampai saya
akhirnya bekerja lagi penuh waktu sebagai wartawan di sebuah media lagi pada September
2015.
Satu tahun itu adalah waktu yang paling berharga dalam hidup saya. Waktu
dimana saya mengakrabkan diri dengan kecemasan, setiap hari, setiap detik. Saya
berpikir tidak hanya untuk hidup di bulan besok, tapi juga di bulan-bulan
berikutnya. Menahan diri untuk belanja barang-barang yang tidak perlu,
mengurangi nongkrong-nongkrong di kafe, dan makan di restoran. Saya katakan
mengurangi, bukan menghilangkan sama sekali. Karena saya tetap butuh sesekali
ngopi di kafe, atau karaoke dengan teman, dan belanja barang baru. Hanya saja
porsinya yang beda.
#MemesonaItu Tidak Memendam Penyesalan Seumur Hidup
Saat itu jika saya tidak memilih untuk menulis
buku dan harus rela hidup tidak nyaman sebagai freelancer, tentu sekarang saya sudah berkubang dengan penyesalan.
Saya punya seorang teman yang meninggal di
usia 25 tahun. Dia orang yang sangat hangat dan cerdas. Kemampuan yang dia
miliki tidak membuatnya sombong sama sekali. Dia selalu mampu membuat orang
merasa nyaman berada di dekatnya.
Melihatnya meninggal karena sakit, di usia
yang masih sangat muda, seperti ada yang menghantam dada saya. Saat itu saya
merasa takut sekali. Saya takut ketika saya mati nanti saya belum pernah
berbuat sesuatu yang berarti. Sesuatu yang mungkin bisa berguna buat orang
lain. Sesuatu yang membuat hidup saya tidak menjadi sia-sia. Sesuatu yang tidak
mendatangkan penyesalan seumur hidup saya. Sesuatu yang punya arti untuk hidup
yang hanya merupakan jeda pendek antara lahir dan mati.
#MemesonaItu Berani Menghadapi Ketakutan Terdalam dan Menciptakan Keajaiban
Peluncuran buku saya di kafe |
Keajaiban hanya mungkin tercipta jika kita berhasil berhadapan dengan ketakutan terdalam dalam diri kita. Selama satu tahun itu, saya jadi tahu apa yang paling saya cemaskan, apa yang paling saya takuti. Sekaligus saya mendapatkan kejutan dan keajaiban yang mungkin tidak akan saya dapatkan jika saya tidak memutuskan menjadi pekerja lepas dan menulis buku.
Selain buku saya terbit, peluncurannya pun berlangsung luar biasa di
sebuah kafe di Jakarta Selatan dan dihadiri banyak media yang meliput berita
peluncuran buku tersebut.
Terbitnya buku tersebut telah mengajarkan saya
banyak hal. Bahwa kita berhak punya banyak mimpi, dan ada kalanya demi mengejar
mimpi kita yang satu kita harus merelakan mimpi yang lain. Bahwa pengorbanan
dan perjuangan tidak pernah ada yang sia-sia. Kita hanya mampu mendapat hasil
yang maksimal jika kita mau berkorban habis-habisan. Karena hasil tidak pernah
mengkhianati proses.
Satu tahun di zona tidak aman, satu tahun di
setiap harinya bertemu dengan kecemasan dan keajaiban. Satu tahun yang menempa
mental saya habis-habisan. Akan tetapi, saya jadi terlatih menghadapi
kecemasan. Terlatih membuat diri tetap waras menghadapi ketidakpastian setiap
harinya. Mengolah ketakutan menjadi kekuatan. Mengubah keterbatasan menjadi
bahan bakar untuk memunculkan kreativitas. Jika sudah terlatih, maka akan
terbiasa.
Orang yang terbiasa jatuh, akan terbiasa juga
untuk selalu bangkit. Orang yang terbiasa terpuruk akan terbiasa mencari cara
untuk maju. Kurva hidup yang naik-turun hanya akan terasa seperti putaran roda
yang memang berputar sebagaimana mestinya. Ketidakpastian keadaan hanya menjadi
seperti sebuah permainan yang perlu dinikmati riuh-rendahnya. Sunyi dan
bisingnya kehidupan hanya perlu diakrabi dengan cara yang menyenangkan.
Sukses terus kakak. :)
BalasHapusMakasi kak. Ga ikutan? Ehya khusus cewe ya ini hihi
HapusHahaha.. Iya kak, saya gak mempesona.
HapusWah, jadi penasaran sama bukunya mba.. salut dengan keputusannya yang berani keluar dari zona nyaman^^
BalasHapusHuaa udh lm bgt itu pgn nulis lg skrg udh susah pny bocah hehe. Maaci ya udh mampir
HapusKecee bangeet mbaaak. Salut sama kegigihannya dalam meraih mimpi. Pengen cari bukunyaa. . 😁 sepakaat mbaak org yg terlatih akan jd terbiasa, org yg biasa jatuh juga akan tahu cara berdiri tegak dan kembali berlari mengejar mimpi. Salaam kenal mbaak yaaa. 😊
BalasHapusMakasi mba lucky smoga ttp semangat mengejar mimpi yaa salam kenal jg :)
Hapus