Arina, anak kesayangan. |
Tanggal 7 Desember 2016, saya melahirkan anak saya, Arina
Kamila. Sejak hamil, saya sudah banyak-banyak berdoa dan berharap agar setelah
melahirkan saya tidak mengalami sindrom baby blues. Tapi kenyataan berkata
lain. Empat hari saya di rumah sakit, saya merasa baik-baik saja, tidak ada hal
aneh yang terlalu saya rasakan. Saya pikir, saya terbebas dari sindrom ini.
Tapi, setelah pulang ke rumah, segalanya berubah. Saya mengalami “jetlag” yang
luar biasa dan belum pernah saya rasakan. Payudara yang lecet dan bengkak,
badan yang belum bisa bergerak bebas paska operasi, nyeri yang kadang sulit
ditahan, minum berbagai obat, tidur yang tidak nyenyak karena harus menyusui
setiap dua jam sekali, belum lagi mendengar tangisan bayi yang disebabkan
banyak hal.
Saya merasa hidup saya
berubah drastis.
Di hari kedua saya berada di rumah, saya merasa mual yang
luar biasa sampai tidak bisa makan lebih dari enam jam, nafas saya sesak,
terkadang terasa menggigil, saya pun dibawa ke UGD lagi. Selama tidak makan
itu, saya tetap menyusui. Saya mulai berhenti minum obat, karena saya rasa obat-obatan
itulah yang membuat saya mual. Lambat laun, saya pun mulai kembali bisa makan.
Besoknya, saya menangis hebat. Keadaan yang sulit bergerak membuat saya sedikit
frustasi karena merasa tidak berdaya. Rasa sakit di payudara membuat saya
meneteskan air mata setiap menyusui. Fisik dan psikis saya ngedrop. Saya merasa
ada setengah diri saya yang hilang. Saya merasa tidak lagi menyatu dengan anak
saya. Saya menganggapnya orang lain. Saya seperti menjadi orang lain dan merasa
bukan diri sendiri, tidak “full” dan tidak punya kendali penuh atas diri
sendiri.
Di satu sisi, saya berpikir terlalu jauh dengan balutan
kecemasan yang berlebihan. Saya takut tidak bisa membahagiakan anak saya, dan
berpikir saya tidak pantas menjadi ibunya. Saya merasa belum siap, belum
sanggup dan belum layak menjadi seorang ibu. Ketika saya menangis, orang-orang
sekitar hanya bisa bilang bahwa jangan emosi seperti itu, nanti bayi saya tidak
nyaman. Saya semakin kesal mendengarnya. Kenapa hanya bayi saya yang
dipedulikan? Saya yang sakit, kenapa saya tidak boleh menangis?
Amanah ini terlalu
besar bagi saya. Ada nyawa seorang manusia yang bergantung pada saya
sepenuhnya. Ada bayi mungil yang hidup dari air susu saya.
Lantas bagaimana saya
mencoba memulihkan diri?
Menerima dan Mengakui
Hal pertama yang saya lakukan adalah
menerima dan mengakui bahwa saya mengalami sindrom baby blues. Saya tidak
mengingkarinya, apalagi berpura-pura bahwa saya baik-baik saja. Saya tahu
sedang ada yang tidak beres, dan saya tahu saya harus bertahan dan harus kuat.
Nggak perlu berusaha keras untuk merasa waras. Let it flow. Jangan dibendung,
emosi harus difasilitasi, bukan dilawan.
Bercerita Kepada Orang-Orang yang Memberi Dukungan
Hindari curhat dengan orang yang
hanya bisa memojokkan dan judgmental. Sebisa mungkin hindari pengaruh-pengaruh
yang negatif. Beruntung saya punya ibu dan suami yang sangat mendukung. Saya
tidak perlu menggantikan popok, memandikan bayi dan hal-hal lainnya, mereka
yang mengatasinya, makanan pun selalu tersedia, saya hanya perlu menyusui anak
saya dan belajar mobilisasi supaya lebih lancar bergerak.
Hal yang saya khawatirkan setelah
punya anak adalah saya takut tidak bisa beraktivitas seperti dulu lagi. Sebelum
punya anak, saya orang yang cukup aktif kesana kemari, apalagi waktu masih
menjadi wartawan. Saya cemas kalau hidup saya kelak menjadi sangat terbatas
hanya berkutat pada urusan anak. Saya merasa berkorban terlalu banyak untuk
orang lain. Tapi ibu saya menyadarkan saya
Ibu: “Dia anak kamu, dia bukan orang
lain. Nanti kamu bisa kaya dulu lagi, kerja lagi, nulis lagi. Kamu punya anak
yang lucu, cantik, harusnya kamu bersyukur. Masih banyak orang yang sampai
usaha mati-matian, keluar biaya banyak cuma demi punya anak.”
Saat itu masih sulit bagi saya untuk menganggap anak saya bukan sebagai orang
lain.
Saya bercerita dengan teman yang juga pernah mengalaminya
Adis: “Kalau SC biasanya emang lebih
mellow, kalau butuh cerita, cerita aja. Gue dulu sampai dua mingguan lah kalau
nggak salah. Tapi tenang aja, semua pasti terlewati, kok.”
Rhia: “Gua kalau nggak salah sampe 3
bulan ngalaminnya, tapi gue coba untuk nikmatinnya aja, paling suami gue jadi
sasaran omelan gue. Yang penting jaga kesehatan dan happy, biar ASI lancar.”
Saya bercerita pada teman-teman yang sejak saya hamil sering saya curhati
Coni: “Lo perlu yakin, kalau
‘Everything will be ok’. Semua udah rencana Tuhan dan kita Cuma tinggal jalanin
aja. Kalau ada sesuatu yang nggak bisa diubah, ya kita harus terima.
Komunikasiin apa yang lo rasain. Banyak-banyak baca hal-hal yang positif.”
Fitri: “Mungkin ini kesempatan buat
lo untuk berubah dan menjaga orang lain. Lo pasti bakal jadi ibu yang hebat.
Tapi mungkin prosesnya emang harus begini dulu. Yang penting jangan kalah sama
diri sendiri. Belajar ikhlas pelan-pelan.
Beruntung saya punya suami yang juga
sangat luar biasa. Selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dia juga selalu
memeluk saya ketika saya menangis. Menenangkan saya, membantu saya untuk selalu
sabar, serta tidak berhenti untuk meyakinkan saya bahwa saya ibu yang luar
biasa. Dia selalu menyediakan apa yang saya butuhkan agar saya selalu merasa
nyaman dan senang.
Pergilah, Meski Hanya Keluar Rumah Sejenak untuk Menghirup Udara Segar
Berada di dalam rumah, menyusui
setiap saat, mendengar tangisan bayi terus menerus, pastilah membuat jenuh
berada di rumah. Saat saya mulai lancar berjalan, ketika anak tidur, saya
menyempatkan diri untuk duduk-duduk di teras, menghirup udara pagi dalam-dalam
sambil menulis coretan-coretan di kertas tentang apa yang saya rasakan hari
itu. Kadang saya pergi ke warung dekat rumah, tidak terlalu berniat membeli
sesuatu, hanya ingin merasakan berada di luar rumah saja. Kalau suami sudah
pulang, dan anak tertidur, saya dan suami pergi sebentar ke luar, ke tempat yang dekat-dekat saja, minimarket
atau supermarket dan cukup sebentar saja. Selama pergi, anak saya bersama ibu
saya, dan kalau dia menangis saya berpesan agar ibu saya segera menelepon saya.
Lakukan Kegiatan yang Menerapi Diri Sendiri
Saya gemar menulis, tapi ketika
sedang mengalami sindrom ini, saya absen dulu menulis. Menulis itu butuh
berpikir, dan ketika sedang mengalami sindrom ini, saya memilih kegiatan yang
tidak membebankan pikiran saya, saya memilih aktivitas yang lebih playful,
yakni menggambar. Dengan menarik garis, membuat bentuk, bermain dengan aneka
warna, membuat fisik saya sibuk, tapi perasaan saya lebih lega. Menggambar
membuat diri saya sedikit lebih “enteng”.
Selain Bercerita Pada Manusia, Banyak-Banyaklah Berdialog dengan Tuhan
Saya bukan orang yang religius, tapi
sejak hamil, apalagi saat hendak melahirkan, setiap saat saya bisa berdoa,
pasti saya berdoa. Hamil adalah sebuah keajaiban, melahirkan adalah keajaiban
yang lebih besar lagi. Saya tahu selama mengandung dan mengantarkan anak saya
melihat dunia, Tuhan selalu bersama saya dan berada begitu dekat dengan saya.
Saya merasakan kuasa-Nya yang begitu luar biasa selama 9 bulan dan terlebih
ketika berada di ruang operasi. Ketenangan diri bisa saya peroleh saat operasi
karena saya tidak henti-hentinya berdoa, dan pasrah sepenuhnya menyerahkan
hidup saya, jiwa-raga saya. Tuhan yang menciptakan manusia, dan tubuh seorang
ibu adalah tempat yang menjaga dan perantara yang mewujudkan ciptaan-Nya itu.
Karena itu saya yakin kelimbungan yang saya rasakan saat mengalami sindrom baby
blues pasti akan mereda jika saya juga belajar untuk ikhlas, berserah diri, dan
tidak berhenti memohon bantuan-Nya dalam menghadapinya.
Lima cara di atas adalah cara
mengatasi baby blues versi saya sendiri berdasarkan apa yang saya alami. Memang
sebaiknya lebih baik mencegah agar baby blues tidak terjadi, tapi karena saya
sudah terlanjur mengalami, saya tidak tahu bagaimana cara mencegahnya. Menjaga
emosi selama hamil dan hindari membaca atau mendengar berita-berita negatif
seputar kehamilan dan kelahiran sangat perlu dilakukan menurut saya, dan
terpenting, usahakan agar diri selalu merasa bahagia.
Cerita yang sangat mengharukan. Beruntung banget ya punya orang-orang yang aware sama mba, mungkin memang suami dan ibu diutus oleh Tuhan untuk menjaga mba nya...
BalasHapusDi tulisan ini disebut tips menghindari baby blues, tapi saya masih penasaran, kira-kira apa sih penyebab penyakit ini? Apakah hanya khusus untuk ibu2 yang baru melahirkan saja?? Trims ya sudah sharing
Iya mas hendra beruntung bgt lingkungan sekitar sgt membantu. Iya biasanya hanya utk ibu yg abis nglahirin, tapi nggak semua ibu jg kena. Pernah nanya sm dokter jg ga ada sebab pasti katanya, bisa jadi karena waktu hamilnya stres, atau ya karena "jetlag", berubah drastis khdupan sblm n stlh mlhirkan. Baby blues klo diatasi bs berkembang jd depresi. Ky kasus ibu yg mutilasi bayiny itu katanya jg krn ngalamin itu depresi. Di bbrp yg ngalamin emang smpe ga mau dkt2 anaknya
Hapus