Foto: huffingtonpost.com |
Siapa yang mampu menjaminkan kebahagian di hari tua kita? Pertanyaan di atas terus menerus terngiang dalam benak saya sejak dua bulan lalu, sejak saya melahirkan seorang anak yang otomatis membuat saya menjadi orangtua. Pertanyaan itu semakin gaduh di pikiran saya terlebih ketika melihat ibu saya yang semakin tampak tua dari hari ke hari tapi ia masih dengan sigap membantu saya mengurus bayi saya, cucu pertamanya. Meski terkadang menggendong cucunya yang semakin berat itu membuatnya sakit pinggang, ia senantiasa tersenyum, tak peduli berapa banyak rambutnya yang kian memutih dan kerutan yang timbul di berbagai tempat. Bahagiakah dia?
Bahagia di hari tua itu adalah ketika
tidak menyesali semua keputusan yang telah diambil sewaktu muda, tidak takut nggak bisa makan di hari esok
Bahagia di hari tua itu ketika kita berterima kasih pada setiap jejak yang diukir masa muda kita, pada setiap jengkal pengalaman, pada setiap detik waktu yang menua bersama kita, pada setiap jerih payah serta kejatuhan dan kebangkitan yang telah lewat
Bahagia di hari tua itu ketika kita berterima kasih pada setiap jejak yang diukir masa muda kita, pada setiap jengkal pengalaman, pada setiap detik waktu yang menua bersama kita, pada setiap jerih payah serta kejatuhan dan kebangkitan yang telah lewat
Seperti apa bahagia di hari tua versi saya? Melihat anak saya
tumbuh menjadi pribadi yang mengagumkan, mencapai kesuksesan versinya sendiri,
dan senantiasa diberkahi kesehatan dan rezeki yang halal. Itulah hal-hal yang dapat membuat saya bahagia. Ketika tua, fisik
mulai melapuk, tapi semangat tidak boleh meredup. Bahagianya saya adalah jika di saat
raga sudah tak lagi seprima di waktu muda saya tidak menjadi beban bagi orang
lain, terlebih anak saya sendiri.
Semoga kelak ketika tua nanti, saya tidak menuntut anak saya
untuk menafkahi saya yang merenta. Saya melahirkannya karena ingin memberi
kehidupan padanya, bukan berharap balas budinya di hari senja saya. Menua bukan
berarti harus menyusahkan. Sebisa mungkin saya membuat anak saya bangga
terhadap orangtuanya bukan membuatnya susah.
Setiap anak kelak akan punya kehidupannya sendiri, tanggung
jawab, dan bebannya masing-masing. Mereka tidak pernah minta dilahirkan untuk
menjadi penampung orangtuanya, mereka tidak berharap ada di dunia untuk menjadi
pengurus kita. Kalau kita sebagai orangtua mendidiknya untuk menjadi orang
dewasa yang mandiri, seharusnya orangtua yang paling depan menjadi contoh
seperti apa menjadi mandiri. Seperti apa berdiri di kaki sendiri, tanpa menjadi beban orang lain.
Ayah saya meninggal saat saya berumur 11 tahun, kakak saya
berumur 14 tahun dan adik saya berumur 3 tahun. Ibu saya tidak bekerja sejak
menikah dengan ayah, dia menjadi ibu rumah tangga yang fokus mengurus anak.
Setelah ayah meninggal, ibu pun kesulitan mendapatkan kerja karena usia yang
tidak lagi muda dan sama sekali tidak punya pengalaman bekerja. Hidup kami pun
berubah, untuk biaya hidup dan sekolah kami dibantu oleh saudara-saudara. Ibu
mencoba berjualan tapi selalu gagal. Ketika sudah tua, ia pun mendapat kerja
sebagai buruh di konveksi, bersama orang-orang yang pendidikannya sebenarnya
jauh di bawah dia.
Berkaca dari pengalaman kami sekeluarga di masa lalu dan
melihat ibu yang tidak bekerja, saya menanamkan di hati saya bahwa jika saya
sudah berkeluarga, saya tidak ingin menjadi beban orang lain. Saya tidak ingin
ijazah saya berdebu begitu saja,
Meski kini sekarang saya sedang tidak bekerja karena belum lama melahirkan dan memutuskan resign karena lokasi kerja yang jauh yang membuat
saya kesulitan menempuhnya saat tengah hamil besar, suatu saat saya pasti
kembali bekerja. Entah itu bekerja di kantoran lagi, atau fokus merintis usaha
kecil. Saya tidak ingin menyia-nyiakan kemampuan saya dan tetap ingin berguna
untuk sekitar.
Salah satu keuntungan yang ingin saya dapatkan dengan bekerja
kembali nanti adalah melanjutkan kembali kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan yang pernah saya miliki. Dengan menjadi peserta program Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun, kelak masa tua saya tidak akan diliputi kecemasan-kecemasan
yang tidak perlu.
Akan tetapi, jika keadaan saya belum memungkinkan lagi menjadi
pekerja dalam waktu dekat, saya akan memfokuskan diri menekuni bisnis yang saya
rintis bersama suami di bidang penyedia jasa desain grafis. Dengan begitu saya
tetap bisa mendaftar program jaminan hari tua di BPJS Ketenagakerjaan sebagai
pekerja Bukan Penerima Upah (BPU). Pekerja Bukan Penerima Upah (BPU) adalah pekerja
yang melakukan kegiatan atau usaha ekonomi secara mandiri untuk memperoleh
penghasilan dari kegiatan atau usahanya tersebut. Yang termasuk kategori ini
tentunya orang-orang yang bekerja mandiri, termasuk misalnya seperti tukang ojek dan supir angkot. Besaran iuran yang dikenakan sebesar 2% dari
upah yang diterima untuk program Jaminan Hari Tua. Selain itu pekerja Bukan Penerima Upah (BPU) juga bisa ikut
program Jaminan Kematian dengan membayar Rp 6.800,- dan program Jaminan Kecelakaan Kerja.
Pada akhirnya, saya ingin bekerja dengan sangat keras saat
saya masih muda dan kuat. Kelak buah dari kerja keras pasti akan berujung
manis. Saya ingin di masa tua saya, saya melakukan hal-hal yang menyenangkan. Hal-hal yang sempat terpinggirkan di masa muda karena persoalan prioritas. Saya ingin menghabiskan sisa-sisa waktu saya di dunia dengan semakin banyak membaca buku, terus menulis, memelihara blog, melukis dan menikmati pemandangan anak dan cucu yang tumbuh dengan sebagaimana mestinya. Memastikan saya dan dunia merawat mereka dengan baik dan benar.
Kini, saya tak ingin menyia-nyiakan waktu yang saya punya untuk
terbuang begitu saja. Saya tak ingin masa muda saya berlalu tanpa arti. Karena warisan
yang paling bermakna bagi anak saya bukanlah harta yang melimpah, tapi kisah
tentang daya juang dan bertahan hidup. Agar kelak ia tahu bahwa dibutuhkan
lebih dari sekadar tangguh untuk hidup sebagai manusia.
I'm forever young. Hehehe...
BalasHapusSelalu berjiwa muda berapapun usianya ya :)
HapusMembaca ini saya jadi ingat sanak saudara saya yang berumur 70 tahun dan sudah jadi janda. Anaknya satu-satunya telah meninggal, sehingga ia hidup sebatang kara. Sebetulnya saudara saya ini sejahtera, cukup kaya, tapi ia takut tinggal sendirian di rumah. Sekarang ia menumpang tinggal di rumah menantunya supaya dia merasa ditemani.
BalasHapusLansia perlu diajari untuk hidup sendirian. Termasuk untuk memenuhi kebutuhannya sendiri ketika seluruh keluarganya sudah dipanggil Yang Mahakuasa.
vickyfahmi.com
Iya sedih ya kak. Kita jg ga tau kita tua nanti gmn, semoga ga nyusahin siapa2, krn biar gmn pun jg pd akhirnya manusia akn sendrian :(
Hapus