Seorang teman bercerita tentang kedekatannya dengan orang baru. Setahu saya, teman saya itu masih punya pacar. Tapi, kata dia, dia sebenernya nggak yakin sama pacarnya itu, sementara dia udah ngebet pengin nikah. Berikut ini petikan curhatnya:
“Pril,
gue udah pengin banget nikah. Umur gue
udah berapa, orang tua gue nanyain mulu. Pacar gue sih kayaknya mau nikahin
gue, tapi gue ragu sama dia. Gue nggak yakin. Pengin sih jalin hubungan baru
lagi, tapi pasti makin lama lagi gue nikahnya.”
Saya
kadang nggak ngerti kenapa orang buru-buru pengin atau ngebet nikah. Saya dari
dulu bukan tipikal yang menargetkan harus nikah di usia berapa. Saya lebih ke
let it flow, kalau udah waktunya pasti ya akan kejadian juga. Dan ternyata
bener, saya nikah di usia 27. Setahun sebelumnya saya baru putus dari pacar
saya yang sudah jalin hubungan selama 4 tahun. Jadi, sama suami saya sekarang
ini, bisa dibilang kami kenal dan dekatnya nggak terlalu lama. Toh, akhirnya
nikah.
Nikah cuma karena sekadar "ingin"?
Nikah itu bukan sekadar karena ingin
aja. Atau nikah karena ada yang mau nikahin aja. Kalau
cuma karena suka sama suka, ya ampun itu mah terlalu bertaruh sama masa depan
dan sisa hidup yang kita punya. Nikah itu soal siap atau nggak. Siap hidup
sama-sama pasangan kita. Siap susah senang sama dia. Siap berjuang sama-sama di
saat jatuh, dan siap untuk nggak ninggalin satu sama lain di saat berjaya. Siap
untuk selalu bernegosiasi dan berkompromi sama ego dia, kebiasaan dia, cara
hidup dia, dan mimpi-mimpi dia. Siap juga untuk menyelaraskan diri sama dia. Siap
untuk selalu mendukung, siap untuk selalu bekerja sama menghidupkan cinta,
membesarkan anak (kalau ingin punya anak), bekerja sama untuk membuat kehidupan
rumah tangga semakin membaik dari segi apapun. Dan yang paling penting siap
untuk terus dan selalu saling mencintai.
Saya
nggak ingin menggurui karena untuk segala “siap” yang saya sebutkan tersebut,
saya pun masih dalam taraf amatir. Tapi karena merasa amatir saya selalu
belajar untuk selalu mampu mempersiapkan diri saya. Saya mau menikah, karena
saya pikir dan saya bertekad, bahwa saya mampu menjalankan semua “siap” itu.
Saya
juga nggak bilang kalau ragu ya udahin aja hubungannya. Justru ragu sebelum menikah itu perlu. Ragu
membuat kita jadi berpikir matang-matang, nggak gegabah dan bisa mempertimbangkan
dengan lebih jernih. Ragu bikin kita jadi nggak ceroboh, atau asal
memutuskan sesuatu hanya berdasarkan perasaan yang sesaat atau nggak menentu.
Mendapatkan pasangan yang tepat
Menikahlah
karena memang ingin menghabiskan sisa hidup dengan pasangan. Saya sendiri dengan suami nggak merasa
memilih atau dipilih, saya merasa Tuhan yang memilihkan dia untuk saya dan saya
dipilihkan untuk dia. Karena, dari berbagai aspek kita punya banyak sekali perbedaan. Setiap saya
berdoa soal pasangan hidup sebelum menikah kepada Tuhan, saya memang tidak
meminta yang macam-macam. Hanya minta yang sesuai, yang pas, dan doa itu
terkabul. Saya pernah punya pasangan yang saya puja, saya juga pernah punya
pasangan yang “ngemong”. Nyatanya saya nggak butuh hidup sama orang yang saya
gila-gilai atau yang “merawat” saya seperti anak kecil. Saya butuh pasangan
yang bisa mengimbangi saya. Saya butuh partner, dalam banyak hal di hidup ini. Bersama-sama
mendukung mimpi satu sama lain tanpa harus ada yang merasa superior ataupun
inferior. Untuk apa punya pasangan yang memenuhi sederet kriteria dan punya
segudang keunggulan kalau nyatanya nggak sesuai sama kita.
Cocok nggak ya saya sama dia?
Perihal
cocok atau nggak cocok memang nggak bisa dipatok begitu saja di awal. Cocok nggak cocok itu cuma soal mau saling
menyesuaikan atau nggak. Cocok atau
nggak itu cuma sejauh mana kita mau mengenal dia dan sejauh apa toleransi kita
sama kekurangan-kekurangan dia. Makanya sering banget kan, ada yang putus
alesannya karena nggak cocok. Ya, karena manusia nggak statis. Hari ini bisa aja kita
masih sanggup toleransi sama kebiasaan buruk dia, beberapa bulan kemudian,
ternyata kita udah bener-bener nggak bisa terima. Jadi, nemuin orang yang
cocok-cocok banget mah sebenarnya nggak akan ada.
Pasangan yang tepat itu bukan
dicari atau ditemukan, tapi dibentuk, dilatih dan dibiasakan. Sama halnya ke
diri kita sendiri, kitanya juga harus membentuk, melatih dan membiasakan diri
jadi orang yang pantas dan tepat buat pasangan kita. Kesannya gampang banget ya
ngomong dan terlalu ideal kata-kata saya ini, tapi saya percaya kok kondisi
ideal itu nggak tumbuh dengan sendirinya, tapi diciptakan. Jadi sah-sah aja
punya bayangan ideal kaya apa, asal tau gimana ngimbanginnya sama realitas.
Setuju mbak, membutuhkan kesiapan lahir dan batin. membaca postingan mbak April saya malah jadi keingat juga prosesi pernikahan aku dulu...Semoga pernikahan mbak laggeng dan abadi ya mbak sampai kakek nenek.... aamiin...
BalasHapusAmiin mba iya lbh2 pny anak, ya lahir batin mental fisik materi kudu disiapin semua hehe. Maaci udh brkunjung mba
Hapus