Matahari
begitu terik menyambut kami di Rumah Susun Sederhana Sewa (rusunawa) Pinus Elok yang
terletak di daerah Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur. Hawa gersang begitu
kentara. Air yang menggenang di lantai, sampah-sampah yang bertebaran, membuat
rusunawa ini terlihat agak kumuh dan kotor. Maklum, warganya terbiasa hidup
bebas ketika masih tinggal di pinggiran waduk.
Untuk sampai ke rusunawa ini, hanya ada
angkutan kwk 29, yang bisa diakses dari halte transjakarta Penggilingan, tapi
untuk kembali ke halte tersebut di sore hari, angkutannya sudah sangat jarang.
Transportasi hanya ojek yang bisa digunakan. Memang tidak terlalu mahal, untuk
sampai ke stasiun Cakung misalnya, Anda hanya perlu membayar Rp 10.000
Tindakan
pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk merelokasi warga yang tinggal di
pinggiran waduk untuk berpindah ke hunian rumah susun, tentu patut diacungi
jempol. Karena bangunan-bangunan di pinggiran waduk dapat mendatangkan kerugian
bagi pemiliknya dan juga bagi lingkungan sekitar. Bagaimana tidak, pasokan air
bersih tentu sangat minim, keadaan yang kumuh dapat berdampak buruk bagi
kesehatan penghuninya. Belum lagi permasalahan banjir yang bisa datang kapan
saja, yang diakibatkan dari kurangnya area resapan air di sekitar waduk karena
adanya bangunan-bangunan tersebut dan juga sampah-sampah rumah tangga. Seperti
contohnya banjir yang melanda warga di sekitar waduk Pluit awal tahun ini.
Meninggalkan
rumah yang telah dihuni sekian lama, dan harus berpindah ke tempat baru yang
cukup asing, pastilah menimbulkan pengalaman yang mengesankan. Begitu pun yang
dialami Wiryo (64), salah satu warga yang direlokasi dari waduk Ria Rio. Ia dan
istrinya Listari (60) telah menempati salah satu unit rusunawa Pinus Elok di
lantai 1 selama 9 hari. Mereka mengaku merasa lebih senang tinggal di rusunawa,
karena tetangga pun tidak ada yang berbeda, tetap tetangga mereka sewaktu
tinggal di pinggiran waduk. Merasa tidak hidup dengan tetangga yang berbeda
membuat mereka tetap merasa nyaman. “Enaknya di sini air lebih bersih dan lebih
gampang, nggak susah kaya dulu di sana (pinggiran waduk Ria Rio). Air susah,
mesti mompa, kalau punya uang bisa mandi di wc umum, kalau nggak ya cukup mompa
dua ember cukup, tapi airnya nggak bersih, belum lagi kalau untuk air minum.”
kenang Wiryo.
Proses
relokasi yang bertahap ini awalnya juga melalui perdebatan, karena uang
kompensasi yang pertama ditawarkan PT Pulomas Jaya tidak disetujui warga.
“Tadinya cuma mau dikasih uang 1 juta, disamain sama yang di Pluit, tapi kan
beda, Pluit mah memang tanah negara, kalau di Pedongkelan dulunya memang tanah
kosong, tanah tuan tanah. Tadinya hampir ribut, tapi ditengahin sama Jokowi,
jangan sampai ada kekerasan. Biar gimana juga ada yang dari lahir sampai punya cucu tinggalnya sudah
di situ.” ujar Wiryo. Awalnya warga meminta kompensasi sebesar 5 juta rupiah,
kemudian permasalahan ini ditengahi oleh pemprov DKI, hingga tercapailah
kesepakatan 4 juta untuk setiap keluarga ditambah dengan perabotan. Karena
kebakaran melanda pada bulan Maret lalu di Pendongkelan, mayoritas warga
kehilangan perabotannya. Kini ketika menempati rusunawa mereka mendapatkan
televisi, regulator gas, tabung gas, kulkas, lemari baju, kompor gas, tempat
tidur, emergency lamp, kipas angin dan dispenser.
Namun, menurut Kepala Unit
Pelaksana Rumah Susun Wilayah III Timur, Dinas Perumahan dan Gedung Pemda DKI
Jakarta, Jefyodya Julian, fasilitas barang yang disediakan dalam setiap unit
tidak bisa dimiliki warga sepenuhnya. Barang-barang tersebut hanya
dipinjamkan selama warga masih menghuni rusun tersebut. "Ini bukan hak milik warga,
kalau hilang nanti warga harus menggantinya, maka dipasang barcode setiap unit
barang agar terdata," ujarnya
Tidak merasa keberatan
Wiryo
cukup berlapang dada ketika harus pindah, meski anak-anaknya sempat khawatir
bagaimana keadaannya pasca pindah tempat tinggal dari wilayah yang sudah
didiaminya sangat lama. “Rumah saya juga sudah dirubuhin di sana. Bagi saya
sudah nggak ada keberatan sama sekali, karena biar gimana pun, itu bukan tanah
kita, cuma numpang di sana.” tutur Wiryo.
Sehari-harinya
Wiryo bekerja sebagai tukang bangunan di perumahan Kelapa Gading, yang tidak
mempunyai penghasilan tetap setiap bulannya. Setiap berangkat kerja, bapak tiga
anak ini selalu mengayuh sepeda menuju Kelapa Gading. “Kerja serabutan kan
kadang hari ini kerja, besok-besok bisa nggak kerja, kalau sekarang sewa
unitnya masih Rp 234.000 per bulan masih sanggup, tapi kalau tiap tahunnya
harus naik, bisa nggak sanggup saya.”
Harga
sewa di lantai satu memang yang paling mahal. Untuk setiap lantai di rusun ini
dikenakan biaya yang berbeda. Harga sewa di lantai
satu di rusun ini adalah sebesar Rp 234 ribu ber bulan. Untuk lantai dua harga
sewanya Rp 212 ribu per bulan, untuk lantai tiga Rp 192 ribu, untuk lantai
empat Rp 173 ribu per bulan dan untuk lantai lima 156 ribu per bulan.
Minimnya informasi
penggusuran pasca kebakaran
Meski
sudah merasa lebih enak tinggal di rusunawa, ada yang sedikit disesali para
warga, terutama masalah setelah kebakaran yang terjadi pada bulan Maret lalu,
pemerintah tidak menjelaskan sedikitpun kapan rumah warga di waduk Ria Rio akan
digusur. “Waktu kebakaran itu kita tinggal di tenda, Pak Jokowi waktu itu
sering bolak-balik ke tenda, terus kita tanya, ‘Pak, Saya denger-denger katanya
Pendongkelan ini mau digusur, boleh nggak dibangun lagi rumahnya?’ terus dia
bilang benar mau digusur, tapi masih lama, dia bilang silahkan saja bangun
lagi, tapi nggak usah bagus-bagus, gitu sarannya Jokowi.”
Dari
bulan Maret itu warga baru diberi tahu lagi soal penggusuran setelah lebaran
Idul Fitri kemarin. “Karena dibilang boleh ngebangun, jadi pada bangun, ada
yang sampai hutang-hutang, minjem sana-sini. Sudah keluar uang berapa jadinya
untuk bangun.”
Di
wajahnya yang tampak guratan usia yang menua, Wiryo pun menjelaskan asal
muasalnya ia bisa mendirikan rumah di pinggir waduk Ria Rio. “Tadinya saya
ngontrak sekitar tahun 1980, pas harga satu kamar masih Rp 2.500, masih sepi
waktu itu. Tadinya di situ tanah kosong, jadi dipunyain ramai-ramai. Tahun
90-an saya bangun rumah di situ, pas masanya presiden Soeharto, 2 RT digusur, tapi saya nggak kena,
yang digusur RT 8 dan 9, saya di RT 6, lambat laun makin banyak warga yang
bangun rumah di situ. Nggak ada yang larang, kita cuma ngasih uang rokok ke RT
dan RW. Terus tanah itu diakuin sama Pulomas, katanya mau dibikin taman Ria
Rio, sudah ada sih yang saya lihat jadi taman.” Memang rencananya Waduk Ria Rio akan
dikembangkan oleh pemilik areal waduk, PT Pulomas Jaya, sebagai kawasan
pengendali banjir dan ruang terbuka hijau. Waduk seluas 7 hektar itu akan
dioptimalkan sebagai muara sejumlah saluran air di kawasan Pulomas, yang
kemudian airnya dipompa ke Kali Sunter. Sementara areal daratan di sekitar
waduk yang mencapai lebih dari 13 hektar, ditambah 5 hektar dari pembebasan
lahan, akan menjadi ruang terbuka hijau.
Gotong Royong tetap ada
Meski
sudah berpindah di hunian rusun, gotong royong tetap terjaga di antara warga,
karena mereka sudah bertetangga cukup lama. Listari yang sudah sakit-sakitan,
tak bisa berpergian jauh, karena itu untuk membeli kebutuhan rumah tangga
seperti sayur, lauk dan sebagainya, Listari selalu menitip pada tetangga untuk
membelikannya, karena semua tetangga juga tahu keadaannya Listari. “Kalau jarak
jauh, istri saya harus dituntun. Karena yang pindah ke sini satu kampung saya
jadi nggak khawatir ninggal-ninggal dia.” ucap Wiryo
*ini tulisan pertama saya ketika bekerja di Jurnal Nasional. Saya membuatnya pada tanggal 10 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar