Tidak ada
hasil yang selesai dari sebuah sketsa. Pada hakikatnya, sketsa bukan gambaran
utuh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sketsa mengandung arti sebuah lukisan
cepat, hanya garis-garis besarnya saja. Gambaran besar tanpa detail, rancangan
kasar, begitu kira-kira pengertian ringkasnya. Itu pun yang terlihat dari
karya-karya Toto BS. “Kekasaran itulah
sebuah keindahan.” ungkapnya pada saat pembukaan pameran tunggalnya di Galeri
Cipta II, Taman Ismail Marzuki. Pameran “Sketsa Spontan” ini berlangsung dari
tanggal 5-10 April 2014 dan merupakan pameran tunggal ketiga Toto setelah
sebelumnya berpameran di Rumah Proses Bandung (2009) dan Galeri Millenium
(2009).
Spontan
berarti serta merta, tanpa dipikir, dan melakukannya dengan dorongan hati. Toto
menangkap ekspresi lebih dalam dari bidikan kamera. Dua kali saya dibuatkan
sketsa di kertas oleh Toto, dua kali juga saya mendapatkan gambaran yang
berbeda. Pada gambar pertama wajah saya tampak sendu, padahal saya tidak
memperlihatkan rona sedih sedikitpun. Di gambar kedua di waktu yang berbeda,
wajah saya tampak lebih tenang. Mungkin yang tidak saya perlihatkan itulah yang
ditangkap olehnya. Dalam momen tertentu, orang yang dilukisnya bukan menjadi
objek pasif, mereka tetaplah subjek. Subjek lukisan. Mereka melihat kanvas,
mereka menyaksikan wajah mereka dilukis di kanvas oleh Toto, ya, Toto selalu
mengatakan “Lihat ke kanvas” pada orang yang dilukisnya, karena bagi dia subjek
lukisannya penting melihat proses, bukan semata-mata mendapatkan ‘karya jadi’.
Yang Toto lakukan bukan memindahkan wajah dari apa yang dilihat ke dalam
kanvas, tapi yang ia rasakan juga terhadap subjek di hadapannya, “Bisa jadi
kalau saya buat sketsa pacar saya, hasilnya justru tidak maksimal, tidak murni,
karena pasti ada yang saya lebih-lebihkan di sana.” ujar Toto. Karena itu tak
heran wajah yang ia hasilkan ada yang berekpresi murung, sendu, tersenyum,
terkadang berbeda dengan apa yang tampak saat itu.
Berangkat dari Kekosongan
Ketika
memasuki ruang pamer, hanya ada kanvas-kanvas putih bergelantungan dengan
ukuran 60 x 80 cm. Tak ada satupun yang ada gambarnya. Pengunjung pun ada yang
bertanya-tanya, “Mana karyanya?”
Tentu bukan
bermaksud menipu, hal itu memang sengaja. Pameran di sini bukan sekadar pamer
karya, tapi juga pamer prosesnya. Toto mengaku tidak merasa malu atau risih
jika ketika membuat sketsa ditonton banyak orang. “Saya lebih grogi kalau
disuruh bicara di podium.” ujarnya
Kespontanan
ini melibatkan pengunjung yang hadir. Pengunjung datang bukan hanya untuk
menonton, tapi juga menjadi bagian dari karya. Bermodalkan charcoal, Toto mulai
berpameran dengan menggelar aksi spontan membuat sketsa. Merwan Yusuf, Bambang
Subekti menjadi subjek yang juga dibuatkan sketsa oleh Toto. Guratan-guratan
kematangan tampak begitu jelas di kanvas berisi wajah Mudji Sutrisno dan Martin Aleida. Dari 40
kanvas, Toto hanya mampu menyelesaikan 34 buah, enerjinya tampak begitu
terkuras malam itu. Toto membuat sketsa dengan begitu cepat, sekitar 2 menit,
karena itu jika tidak terlalu mirip, itu hal yang wajar, tapi tentu bukan
kemiripan yang memang dipentingkan di sini.
Kekosongan
itu juga menyiratkan diri Toto sebelum mengenal seni rupa. Belajar secara
otodidak, Toto mengatakan cukup telat menggumuli sketsa di usia 40 tahun, kini
dirinya sudah menginjak umur 55. “Karya yang saya buat bukan mementingkan
bagusnya, tapi yang penting ada koneksi, melibatkan emosi. Karena itu jadi
terlihat sangat wajar, ada yang hasilnya bagus ada yang hasilnya jelek.”
Baginya karya ada kurvanya, begitu pun hidup,
jika hanya bagusnya saja yang ada, tentu terasa datar.
Kesederhanaan
Toto terlihat dari caranya berbicara, caranya berpakaian dan caranya
berinteraksi dengan orang lain. Seniman yang selalu merendah, tapi ternyata
rupanya banyak orang yang masih mencurigai sebuah kesederhanaan. Saya pernah
bertemu Toto lagi pada saat ia buka booth sketsa wajah di sebuah acara di mall,
setelah saya disketsa, ia menegur seorang bapak-bapak dan berkata, “Pak, saya
mau sket wajah Bapak. deh.” Orang itu hanya memandang sebelah
mata. Mungkin ia mengira Toto orang yang aneh, tidak kenal, tahu-tahu bilang
mau sketsa wajah, entah apa yang menjadi kecurigaan orang itu, berkata pun
tidak, ia menunjukkan wajah yang sungguh tidak peduli. Tapi penolakan macam itu
mungkin hal yang biasa, mengalami hal itu sepertinya tidak membuat Toto sakit
hati, ia tidak menggerutu sedikit pun dan kembali asyik dengan aktivitasnya.
Sketsa Toto menangkap
‘wajah’ yang ‘tidak selesai’, mungkin tak akan selesai, seyogyanya ‘wajah’ itu
sendiri. Dalam wajah seseorang, ada waktu dan pengalaman, pergulatan batin,
perasaan, masa lalu dan hal-hal lainnya yang berkontribusi melahirkan
guratan-guratan, yang tentu tak akan selesai selagi masih hidup. Tapi ketika
subjek lukisannya sudah tiada, sketsa Toto telah mencipta rekam jejak yang
mengabadikan momen tertentu di waktu dan tempat tertentu. Goresan di karyanya, mentranformasi
guratan di hati orang-orang yang pernah disketsa olehnya.
*dimuat di Jurnal Nasional, Minggu 13 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar