Karya
yang hadir apa adanya
Melukis tanpa rencana. Lukisan-lukisan
Sahat Simatupang hadir ‘dengan sendirinya’. Ketika berhadapan dengan kanvas
putih di hadapan, dirinya tak pernah merencanakan apa yang akan ia buat, ia tidak
memikirkan judul atau tema sebagai patokan. Yang terpenting, dirinya harus
selalu ‘masuk’, menyatu ke dalam lukisan yang dibuatnya. Tak heran,
bentuk-bentuk unik pun muncul, seperti di lukisannya yang berjudul “Kehidupan”
ada gambar-gambar ikan di sana. “Seperti ada yang menggerakan saya, jika
kemudian muncul bentuk mata, ikan, dan bentuk-bentuk lainnya, jika awalnya
gambar orang kemudian berubah menjadi bentuk lainnya lagi yang tampil, itu
bukan masalah, bahkan jika nantinya menjadi abstrak pun, juga tidak masalah.”
ujar Sahat. Judul dalam sebuah lukisan hanyalah sebuah nama, ia menganalogikan
lukisannya seperti bayi yang baru lahir, yang terlahir lebih dulu baru kemudian
diberi nama, maka judul lukisan baru diberikannya ketika lukisannya itu jadi. Ia
mengatakan bahwa dirinya tidak melakukan ‘rekayasa’ terhadap karya yang
diciptakannya, karya itu hadir apa adanya. “Seperti air yang mengalir, saya
tidak berusaha untuk bercerita, apalagi mempercantik, saya tidak berusaha
membuatnya harus tampil harmonis.” ujar pria kelahiran 1964 itu. Sahat tidak
mengambil sesuatu yang jauh dari dirinya, ia bermain di ruang yang sangat
privat, dirinya, keluarga, dan segala hal yang dekat dengannya.
“Motif yang saya ambil ke dalam
lukisan-lukisan saya berasal dari keseharian, dari keluarga, benda-benda di
sekitar, apa saja yang merangsang saya untuk melukis.”
Tanpa tendensi, tanpa tuntutan, atau
paksaan dari sang seniman terhadap medium pengungkapan emosinya, dalam hal ini
kanvas, karya-karya Sahat hadir melalui kealamiahannya. Pameran tunggalnya ini
pun tidak diberi satu tema khusus, berisi 55 karya dipamerkan di Galeri Cipta
2, Taman Ismail Marzuki, sejak 4-14 Maret 2014.
Tak adanya keharusan, berarti ada ego
yang dibiarkan luruh menjamahi kanvas putih. Mengalir tanpa kemestian, mungkin
naluri yang menjadi stimulusnya. Memprovokasi seluruh indera dan jiwa dalam
diri untuk ikut terlibat tanpa membayangkan atau mengekspektasi hasil, karena
berjalan tanpa rencana. Bicara soal itu, lihat saja, lukisan tanpa rencana yang
pada akhirnya dibubuhi judul “Rencana”, ada goresan-goresan yang abstrak, ada
warna-warna yang bertabrakan. Karya ini bisa ditarik pada ‘rencana’ dalam hal
yang sangat umum, bukankah seringkali hal-hal yang sudah terpatok, dan
tersusun, pada akhirnya mengalir keluar jalurnya dengan sendirinya. Dan sesuatu
yang tanpa rencana tetap bisa terus bergerak, tanpa harus mandek, meski di akhirnya
ada sesuatu yang belum jelas, belum pasti. Hasil yang tak terbayangkan itu,
sering menjelma wujud yang tak disangka sebelumnya, wujud, yang bisa jadi luar
biasa, bukankah dalam hidup, seringkali juga dialami yang seperti itu?
Lengkung-lengkung dalam “Rencana”
memiliki sedikit kemiripan dengan karyanya “Irama Putih”, hanya saja,
goresannya lebih kompleks. Putih tidak menjadi warna tunggal yang tampil di
lukisan ini. Ada warna-warna lainnya, meski yang tampil kuat itu putih. Warna hijau,
merah dan lainnya tidak hadir begitu pekat. Dan sejatinya, ‘putih’ akan lebih
‘berirama’ jika tidak tampil sendiri dan justru bersanding dengan warna
lainnya.
Di “Wajahnya”, Sahat menampilkan wajah
yang tak lagi berbentuk wajah dalam artian harfiahnya, ada dekonstruksi di
sana, apakah warna-warna itu menampilkan wajah manusia, orang-orang yang
ditemuinya, atau bisa jadi juga wajah semesta.
Fase
berkarya yang berbeda setelah menikah
Ketika belum menikah, dan pada akhirnya
memiliki istri dan anak, baginya proses hidup itu mempengaruhi juga proses
kreatif di dirinya sebagai seniman.
Pameran ini merupakan pameran
tunggalnya yang ketiga, setelah tahun 1991 dan 1997. Sempat mengenyam
pendidikan di Seni Rupa IKIP Jakarta, setelah menikah, Sahat yang sadar
perlunya juga penyesuaian diri ketika membentuk keluarga, kembali ke jalurnya, yakni
bidang pendidikan, dan memutuskan untuk mengajar seni rupa di sekolah. Ia tak
lagi bisa mengedepankan ego pribadi, kebutuhan keluarga tentu menjadi
prioritas.
“Seindah-indahnya sebuah lukisan, jauh
lebih indah senyum anak saya.” Ia mengaku, sebelum menikah, karya-karya tampil
lebih ‘liar’. Ada pergeseran yang ia rasakan, karena interaksi dengan keluarga,
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi emosi dan perasaannya. Hidupnya
tentu berubah, sudah tak bisa lagi sembarangan karena juga harus memikirkan kelangsungan
hidup keluarga. Perubahan itu pun terlihat dalam karyanya, yang dirasakan oleh
Prisade, Sd yang telah mengenalnya sejak tahun 83-an, ketika keduanya tergabung
di sanggar yang sama bernama Sanggar Garajas. “Setelah berumah tangga, ‘garis’
Sahat mengalami evolusi, menjadi demikian lebar yang dikembangkan juga melalui
kanvas yang lebih lebar lagi, hingga medan energinya semakin terbebaskan dari
ketegangan.” jelasnya dalam catatan untuk pameran ini.
*tulisan ini dimuat di Jurnal Nasional, Minggu 23 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar