Pameran “Banten” Jan Peter van
Opheusden
Wajah-wajah
polos anak-anak di Bali lengkap dengan udeng-nya (ikat kepala khas Bali)
terangkum dalam lukisan “Children of Bali” dari Jan Peter van Opheusden yang
dipamerkan di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta, 24 Maret-11 April 2014. “Ketika
melukis anak-anak itu, saya memotret mereka terlebih dulu, saya tidak mengkopi,
foto hanya sebagai medium.” ujar Opheusden. Anak-anak tentu tidak bisa berdiam
dalam waktu lama untuk dilukis.
Selain
anak-anak, ada upacara, tarian, dan aktivitas lainnya yang juga Opheusden
tuangkan dalam pameran bertajuk “Banten” itu. Kata Banten yang dimaksud
bukanlah Banten sebagai sebuah provinsi, tapi ‘Banten’ yang berarti
‘persembahan’ atau dedikasi dalam bahasa Bali. Sejumlah upacara memang sering sekali bisa ditemukan
di Bali, kepada alam, mereka memberikan persembahan dalam bentuk ‘sesajen’.
“Tajen”
sebagai kegiatan sabung ayam yang begitu mudah dijumpai di Bali, juga
dihadirkan Opheusden. Dari lukisan yang indah-indah ini apa yang bisa
ditawarkan lagi ketika para kritikus seni sudah mengatakan, seni lukis telah
menjadi ragam kesenian yang mati? “Secara tema, mungkin memang sudah tak ada
yang baru, semua sudah diolah, dari segi bentuk pun juga semua sudah digarap,
tapi bicara soal subjektivitas dan intuisi dalam seni lukis, itu hal yang tak
akan ada habisnya. Sudut pandang seniman itu yang akan selalu berbeda.” ujar
Jean Couteau yang membuat tulisan untuk
pameran ini. Bicara soal lukisan Opheusden, berarti bicara tentang rupa melalui
warna yang ia rasakan. Dua bulan mengenal Opheusden, Couteau terkesan dengan
keluguan dan kespontanannya. “Bicara dengannya seperti menemukan sosok
anak-anak dalam dirinya.” Mungkin itu pula yang membuat ragam wajah anak-anak
menjadi subjek menarik yang cukup banyak digambarkan Opheusden. Bisa jadi di
kepolosan anak-anak itu, ia pun kerap menemukan dirinya. “Di sana (Bali), saya
seperti tidak perlu bekerja, saya seperti berlibur setiap harinya.” ujar
Opheusden. Pelukis kelahiran Eindhoven 1941 ini hampir setiap tahun berkunjung
ke Bali, dan merasa begitu nyaman berada di sana, berada di tengah
orang-orangnya, juga budayanya, ia merasa tidak kesulitan membahasakan
kebudayaan di sana ke dalam kanvasnya.
Warna emas sebagai simbol kekayaan
Di
lukisan “Upacara di Pantai”, tanah atau pasirnya ia hadirkan dengan warna emas.
Ia katakan, Bali adalah pulau yang begitu kaya, karena itulah nuansa emas, ia
torehkan di berbagai lukisannya, seperti di “Pasar Badung”, “Tajen”, “Banten”,
dan “Heaven Can Wait”.
Bagi
Couteau, keajaiban warna hasil pertemuan Opheusden dengan realitas yang
menampilkan ekspresi subjektif di karya-karya bernada figuratif milknya ini
merupakan suatu hal yang menarik. Intuisi menjadi letak yang begitu penting. Karena
itulah menurut Couteau lagi, ketika berhadapan dengan “Banten” Opheusden ini,
harus ‘memasukinya’ dalam keadaan ‘kosong’. “Mengkosongkan diri dari segala
prasangka dan pengetahuan yang kita punya tentang Bali, untuk kemudian membuka
kembali diri kepada intuisi murni, agar bisa menikmatinya, bagaimana ia
membangun ruang imajiner dalam benak kita.” Intuisi Opheusden terlihat begitu
kuat dalam karyanya “Intuitive”, paduan merah, hitam, putih dan birunya
mencipta nuansa yang begitu magis, kemagisan yang khas dimiliki Bali.
Bicara
soal kekayaan Bali, tentu sudah menjadi rahasia umum, baru-baru ini masih ramai
pembicaraan soal reklamasi Teluk Benoa di pesisir selatan kota Denpasar yang
menjadi polemik. Reklamasi ditujukan untuk menciptakan ikon pariwisata baru,
sedangkan sejumlah masyarakat menentangnya karena reklamasi ini bisa
membahayakan, menenggelamkan desa yang ada di sekitarnya, seperti Desa
Sidakarya, sehingga proyek ini dituding kelak hanya akan menguntungkan pihak
investor. Jika “emas” dihadirkan Opheusden dalam lukisannya, kini yang tengah
terjadi adalah usaha untuk mengeruk ‘emas’ itu sedalam-dalamnya oleh pihak
tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar