Mencari 'Rakyat Sejati'
Demonstrasi,
katanya untuk membela kepentingan rakyat. Tapi siapa rakyat? Bukankah si kaya
dan si miskin pun juga disebut rakyat?
Di
pementasan terakhir Teater Koma yang
berjudul “Ibu” pada November lalu,
kondisi keadaan Indonesia hanya
disinggung sedikit, sisanya cerita
sedikit berjarak, karena memang naskah tersebut diadapatasi dari “Mother Courage and Her Children” dari Bertolt Brecht. Kini, di pentas “Demonstran”
yang berlangsung 1-15 Maret 2014 di Graha
Bhakti
Budaya, Taman Ismail Marzuki, Nano Riantiarno, sutradaranya, membuat kisah yang
lebih
dekat
dengan kondisi Indonesia sekarang ini.
Sajian
pertunjukan ini cukup menghibur, terutama ketika tokoh-tokoh 'waria' tampil di panggung, semua penonton tertawa. Bisa jadi itu satu-satunya
hiburan, dari pertengahan hingga akhir, pertunjukan mulai tampak kedodoran
dan terasa berjalan begitu lambat. Beberapa penonton yang sudah
duduk lebih dari tiga jam tampak mulai bosan dan mengantuk.
Terlalu banyak repetisi, naskah berputar-putar mengulang-ngulang pertanyaan
siapa rakyat sejati. Sesuatu yang sejak awal sudah didengungkan Topan (Budi Ros) sang tokoh utama ketika dirinya diminta turun ke
jalan lagi memimpin demonstrasi untuk membela kepentingan rakyat. "Siapa
rakyat? Bagaimana kalian berjuang kalau kalian tidak tahu untuk
siapa? Orang miskin itu rakyat, orang kaya juga rakyat. Tapi siapa rakyat sejati?" ujar Topan kepada Niken
(Daisy Lantang), Wiluta
(Andini Putri Lestari) dan Jiran
(Adri
Prasetyo) yang mengajaknya memimpin gerakan. Dua puluh tahun lalu, Topan adalah pemimpin demonstrasi yang berhasil menumbangkan penguasa, dan
kini dirinya telah
menjelma pedagang yang sukses. Ada satu lagi hiburan yang menjadi sindiran juga
di dalam pertunjukan ini, yakni dihadirkannya
tokoh penata rambut yang diperankan oleh Subarkah
Hadisarjana yang tugasnya menata rambut calon presiden, Pejabat-T (Emmanuel
Handoyo). Rambut-rambut itu pun menjadi simbol yang juga melekat di pengikut Topan,
para mantan demonstran dulu, yang kini banyak sudah hidup enak dengan menjadi
pejabat, anggota DPR. Mereka, tampil dengan rambut yang disasak demikian
tinggi.
Dua kali, sosok Topan menyebut kata anarkis. Pertama, ketika ia bilang bahwa unjuk rasa sering melibatkan
emosi yang hanya berujung pada anarkis. Di sini, tampaknya Nano belum membedakan anarkisme
dengan vandalisme. Anarkisme berasal dari bahasa Yunani, anarchos/anarchein yang berarti tanpa pemerintahan (negara), negara atau pemerintah cenderung punya kontrol otoritas yang
melahirkan tirani. Jika demonstrasi yang ia maksud berujung pada perusakan,
bersifat negatif dan mengganggu, itu vandalisme.
Suara
Cornelia Agatha yang berperan menjadi Bunga, istri Topan tampak terdengar tidak cukup kuat ketika bernyanyi
di nada-nada tinggi, sangat
terasa sekali ia tidak punya nafas yang cukup panjang bernyanyi di panggung
teater. Dunia
teater memang punya tantangan yang lebih. Punya vokal kuat dan artikulasi
jelas, kualitas akting, ditambah gerak tubuh, tentulah bukan perkara gampang
untuk menyajikan hal yang lengkap tersebut.
Dari segi
properti, dibanding pementasan sebelumnya, kostum yang digunakan lebih
sederhana, karena mengambil tema tentang kondisi yang terjadi di masyarakat,
elemen keseharian yang diwujudkan membuat cerita ini memang tidak berjarak
dengan penonton.
Ditambah
ada musik dangdut yang ikut megiringi jalannya pentas.
Apa yang lebih hebat dari seorang pahlawan? Seorang pahlawan yang mati. Topan
dibuatkan patung, menjadi berhala, yang tidak disembah, tapi hanya dikenal
sebagai sejarah. Dan itulah
yang dibuat Nano.
‘Blubard-blaburd’ yang non-sense
Ketika
pidato, yang terdengar dari mulut Pejabat-T hanya “Blubard, blaburd” yang
diulang-ulang. Sesuatu yang absurd, bukan, lebih tepatnya sesuatu yang tanpa
makna, sesuatu yang tak bisa dipahami. Itulah yang ingin Nano sampaikan, dia
bilang, seringkali omongan pejabat-pejabat itu tidak jelas, seolah dalam
perumpamaannya hanya terdengar seperti “blubard-blaburd”
Yang jelas dari pementasan ini hanya pertanyaan perihal siapa rakyat
sejati, dan sisanya seperti ‘blubard blaburd’, tak jelas apa yang ingin dituju. Selebihnya kebanyakan hanya dialog panjang yang padat, tapi
kurang penggambaran dalam adegan.Yang menarik, tersirat
akan sindiran halus, tentang
kemungkinan kemudian hari. Bisa
jadi mereka yang menjadi aktivis sekarang, akan sangat mungkin menjadi yang
apatis di masa nanti. Atau parahnya mereka yang masa lalunya berkoar menuding orang-orang yang didemonya, kini
kelakuannya tak ada bedanya dengan
orang-orang yang pernah diprotesnya; idealisme yang berganti wujud menjadi pragmatisme maksimal.
“Setelah
pentas “Ibu”, naskah ini yang saya anggap paling mendekati kondisi saat ini,
karena dekat dengan waktu pemilihan umum (pemilu). Seperti momentum, semoga
orang yang menonton bisa melihat ini sebagai inspirasi. Ketika kita membela
rakyat, siapa yang sebenarnya kita bela?” ujar Nano ketika ditemui usai pentas.
Ada
beragam kemungkinan dari definisi yang ditawarkan mengenai ‘siapa rakyat
sejati’, salah
satunya diucapkan dalam percakapan Sabar dan Alun, “Rakyat sejati adalah penonton yang menonton peristiwa
dengan diam.” Ketika pementasan sebelumnya Nano menawarkan perenungan tentang
“Ibu”, kini, dirinya menawarkan perenungan tentang “rakyat sejati”. Term
kesejatian itulah
yang menjadi pertanyaan besar dalam keseluruhan pertunjukan. Berkutat di hal tersebut, membuat penyorotan
persoalan korupsi hanya
menjadi sesuatu yang dipanjang-panjangkan dalam naskah, tapi minim digambarkan.
photo by: haryo canggih wicaksono
*ulasan pentas "Demonstran", Teater Koma dimuat di harian Jurnal Nasional, Minggu, 9 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar