"A Day in My Dream"
Bismar Siagian
Ada
baju melayang berjalan menaiki tangga, ada jendela dan sofa di langit-langit, ada
pintu yang terbalik di dinding, ada rongga di dinding menuju ke tempat lain
dengan tangga lagi, pembubuhan nuansa temaram dalam ruang, melengkapi keutuhan
lukisan “A Day in My Dream” karya Bismar Siagian. Lukisan ini cukup mencuri
perhatian dalam pameran tunggalnya yang berlangsung di Galeri Cipta III, Taman
Ismail Marzuki, 5-13 Maret 2014. Gaya Bismar terlihat sekali mengikuti ciri
surealisme ala Salvador Dali. Bismar sendiri adalah lelaki berusia 24 tahun
yang kelahirannya hanya berjarak setahun dari kematian Dali. Jika surealisme
mendewakan mimpi dan alam bawah sadar. Bismar mencoba ‘membawa kenyataan
realitas’ dalam surealismenya dengan menyisipkan pesan-pesan tentang keadaan
yang sedang terjadi di Indonesia. Ia mengkritik persoalan lingkungan dengan
cara yang begitu halus. Seperti contohnya ketika ia menggambarkan “End of
Forest”, ia memperlihatkan beberapa pohon yang hanya tinggal sisa batangnya. Di
pohon yang masih berdiri, Bismar menggambarkan raut sedih dari ruas-ruas batang
pohon. Beberapa karyanya tampak mengangkat persoalan lingkungan. “Imbalance”
dalam pameran ini memang diperesembahkan untuk menunjukkan ketidakseimbangan
yang tengah terjadi di alam akibat ulah manusianya.
"End of Forest"
“Bismar memang mengambil
semangat Salvador Dali, tapi dia gabungkan dengan kenyataan, ada kesadaran
moral dari apa yang dilihat Bismar.” ujar Indra Porhas Siagian yang menjadi
kurator pameran ini sekaligus juga kakak kandung Bismar. Karya-karya indah ini
lahir dari seseorang yang tidak mengenyam pendidikan seni. Dan “Imbalance” ini
merupakan pemeran tunggal pertama Bismar, sebelumnya ia pernah ikut serta dalam
pameran kelompok di Guddang Gallery dan Museum Layang-Layang Jakarta.
"Negara tanpa Kepala Negara"
Mengenai
kondisi negara, Bismar mencoba mengkritik dengan halus tanpa mengesampingkan
estetikanya pada di lukisan “Berebut Kursi” dan “Negara Tanpa Kepala Negara”. Di
“Misogyny”, Bismar melihat kondisi perempuan yang masih mengalami diskriminasi,
dengan melukiskan perempuan yang bagian tubuhnya diisi oleh jam pasir, di
seberangnya berbaris tubuh-tubuh berdada bidang dengan kepala seperti benteng
catur.
Pelukis yang Mensensor Karyanya Sendiri
Kritik
tidak perlu sadis dan sarkasme. “Bicara soal kejahatan tidak perlu menampilkan
darah.” Begitu menurut Indra. Sensor yang
dilakukan Bismar terhadap karyanya sendiri membuat kritik-kritik yang tergambar
tidak nampak radikal, tapi cenderung halus dan manis.
Seperti
contohnya karya yang berjudul “After The Rain” tampak seorang gadis kecil
sedang bermain biola di hutan dengan wajah yang murung, catatan di samping
lukisannya tertulis hanya hujan yang mampu menghentikan pembakaran hutan.
Secara kasat mata pesan itu tidak terlalu gamblang digambarkan. Ini yang Indra
maksud bahwa Bismar mensensor karyanya sendiri. Kritik sosial tetap bisa
dikemas dengan kebutuhan visual zaman sekarang. Keadaan langit yang abu-abu
menyiratkan asap atau mungkin kelabu selepas hujan. Seperti yang diketahui
kabut asap akibat pembakaran hutan di Riau masih terus berlangsung.
"Perpustakaan Impian"
Dari
penyensoran itu ada yang nampak kurang tepat. Seperti pada karya “Perpustakaan Impian”, ia menggambarkan ruang
perpustakaan yang dipandang oleh dua orang dari rongga seperti jurang dari
lantai perpustakaan. Mungkin yang ingin disindir oleh Bismar adalah persoalan pendidikan mahal yang sulit
dijangkau untuk seluruh kalangan. Kalau bicara soal perpustakaan, umumnya sudah
bisa diakses siapa pun. Jadi bagi yang ingin mendapat ilmu tapi harga buku
terasa mahal sangat bisa untuk membacanya di perpustakaan.
Hanya
ada satu karya yang memakai medium pensil di kanvas, berjudul “Echoes of Life”,
menurut Indra karya ini bisa dibilang masterpiece nya Bismar, karena awalnya
Bismar terlatih melalui pensil di atas kertas. Jadi karya ini merekam jejak
awal Bismar menggeluti dunia seni rupa.
Di
“Pemburu HAM (Hak Asasi Manusia)” Bismar melukiskan orang dengan wajah datar
yang menjaring telinga-telinga yang menjadi ulat di ranting pohon, dalam
catatan di samping lukisannya ia mengangkat persoalan bahwa mendapat informasi
adalah hak setiap warga negara, tidak terkecuali mereka yang dianggap berbahaya
bagi kaum penguasa. Sedangkan “Impian Labirin” menampilkan seorang anak dengan
wajah lugunya berada di labirin, anak kecil itu bisa saja ia representasikan
sebagai dirinya pribadi, atau generasi muda saat ini yang kebingungan dalam batas-batas
dinding-dinding sosial, budaya, politik dan ekonomi di negara ini. Melalui
karya-karya yang tidak radikal ini, lukisan Bismar begitu memanjakan mata,
selain sangat cocok untuk mempercantik ruangan, sekaligus membuat imajinasi
penikmatnya penuh dengan inspirasi.
"Impian Labirin"
photo by: Benny Wibisono
*ulasan pameran Bismar Siagian dimuat di harian Jurnal Nasional, Minggu, 16 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar