Ini
tahun baru. Di hari pertama di tahun 2014. Saya membuat keputusan besar yang
cukup melelahkan (lagi). Pindah kosan. Biasa saja sebenarnya. Tapi jadi tidak
biasa, karena kosan saya di daerah Permata hijau ini baru saya huni selama 2
bulan sejak November kemarin. Sedangkan di tahun 2013, saya juga sudah dua kali
pindah kosan. Tidak betah? Awalnya. Tapi justru bisa saya katakan saya sangat
betah di kamar nomor C 7 ini. Berada di lantai tiga, dan bisa melihat langit
kapanpun dimau, juga gedung-gedung yang romantik dengan lampu-lampunya di malam
hari. Berat meninggalkannya.
ini kamar di kosan permata hijau, asyik kan, kamar mandi dalem pula :)
Saya
sangat betah. Saya sangat nyaman ada di sini. Sekaligus juga timbul kegelisahan.
Mungkin saya orang yang aneh. Ketidaknyamanan adalah suatu hal yang selalu saya
maklumi, tapi jika sudah nyaman, saya jadi curiga.
Lambat
laun saya malas kemana-mana, bahkan untuk pulang ke rumah. Kamar ini sampai
mengalahkan kenyamanan rumah tempat saya tinggal di Tangerang. Bagaimana bisa? Di
sini saya hanya numpang. Di Tangerang memang rumah milik orang tua saya, tapi
saya tidak perlu membayar sewa setiap bulannya. Kamar kosan ini bukan milik
saya, saya hanya sewa. Kalau tak bisa bayar sewa seterusnya, saya bisa didepak
oleh yang punya kosan. Saya selalu
cemas, jika merasa terlalu nyaman pada sesuatu yang jelas-jelas bukan milik
saya.
Saya khawatir jika merasa terlalu
betah di tempat yang jelas-jelas saya hanya singgah.
Kosan
ini cukup sulit dijangkau dari berbagai arah. Sebagai reporter yang harus
berpergian terus, tempat ini bisa dibilang membuat saya kurang fleksibel. Dari kantor
saya (Jurnal Nasional) saja yang terletak di Menteng, dari sini harus ke arah
Tanah Abang terlebih dahulu, kemudian naik ojek. Dari segi pengeluaran untuk
transport, tinggal di Permata hijau cukup menguras dompet. Mengingat wilayah
liputan saya seputar Taman Ismail Marzuki, Galeri Nasional, Kemang, Senayan,
dan Mall-Mall di pusat kota. Tidak efisien tinggal di Barat Jakarta ini dengan
keadaannya yang cukup sering macet juga, dan banjir. Faktor-faktor di luar yang
tidak mengenakkan itu membuat saya semakin enggan keluar, terlebih kantor saya
tidak mengharuskan wartawannya ke kantor setiap hari, jadilah membuat saya
semakin terlena di kamar kosan.
Tapi, terlena dalam sebuah
kenyamanan sangat mungkin melumpuhkan. Dan saya tidak suka.
Tapi,
bukankah orang pergi meninggalkan kenyamanan semata untuk mencari kenyamanan
bentuk lainnya, yang awalnya selalu harus dirasakan ketidaknyamanan terlebih dahulu?
Bisa
jadi. Selagi kenyamanan itu tidak membuat mandeg,
stuck, lumpuh, bagi saya itu belum bahaya. Saya masih bisa bergerak, tumbuh dan
berkembang. Itulah mengapa saya selalu mencurigai kenyamanan. Karena dampaknya
bisa dua. Terlena dan lumpuh, atau justru mendukung daya tumbuh kembang. Tapi satu hal yang pasti, kenyamanan bisa
memanipulasi kewaspadaan kita. Kita jadi kurang mawas diri, ya, karena
keterlenaan itu tadi, kita lupa untuk hati-hati.
Tapi,
berpindah juga pastinya mendatangkan kekhawatiran baru. Apalagi saya pindah
kosan ke kos lama saya di Wahid hasyim, kosan yang saya tempati ketika masih
jadi reporter di Koran Jakarta. Kosan yang pastinya menyimpan banyak memori,
dan cerita masa lalu. Kenapa saya sempat pindah? Karena saya sempat bekerja di
penerbit Demedia yang terletak di Ciganjur dan membuat saya akhirnya memilih
tinggal di Cilandak.
Setiap
ada di kamar kosan baru, saya akan sulit tidur beberapa hari. Saya harus
menyesuaikan diri dengan “hantu-hantu” yang telah bersemayam sebelumnya. “hantu-hantu”
baru, yang entah akan senang dengan diri saya atau tidak.
Karena
akan pindah ke kosan yang pernah saya tempati sebelumnya (hanya beda kamar,
tapi masih di satu rumah). Mungkin saya tak perlu ‘berkenalan’ lagi dengan ‘penunggunya’.
Tapi tinggal bersama lagi dengan “hantu-hantu” dari masa lalu bukankah jauh
lebih mengerikan?
Kenangan
akan kembali menghadirkan hal-hal yang sebenarnya tak ingin diingat. Ruang memang
terkait erat dengan perasaan. Ketika berada dalam ruang, perasaan kita ikut
berinteraksi di dalamnya. Dalam hal ini saya mengutuk Bachelard, yang telah
mematenkannya menjadi teori dalam fenomenologi arsitektur.
Pesan
(sok ber-) moral dari tulisan ini:
Soal
pindah kosan ini, soal kebetahan ini, bisa ditarik lagi pada masalah yang lebih
dalam lagi. hati.
Jangan lupa untuk cemas dan hati-hati
jika sudah merasa sangat betah berhubungan dengan seseorang yang jelas-jelas
bukan hak kita.
Jika sudah pernah pindah ke lain hati
dan harus kembali pada yang lama, jangan lupa untuk berdamai dengan “hantu-hantu”
masa lalu yang sudah saling kenal. Meski telah lama kenal,
tak ada jaminan tak akan membuat ngeri, bukan?
Waktu
selalu menyimpan perubahan, bersiap-siaplah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar