"Mungkin tak usah ikut kompetisi atau lomba kalau nggak ingin ngerasa kecewa karena gagal atau kalah. Tapi bukankah hidup itu sendiri adalah pertarungan, dan diri sendiri, adalah lawan terbesar setiap hari, setiap detik."
Gue suka dengan kompetisi. Tapi gue benci kalah. Yaelah, siapa sih yang suka kalah? Gue rasa manusiawi banget kalau manusia ketika kalah pastilah ada rasa kepukul, barang sedikit. Mau sok ketawa-ketawa, ya lebih tepatnya sih ngetawain kebodohan sendiri. Bukan karena bahagia. Mengakui kehebatan orang lain itu gampang. Menyadari mereka punya kemampuan yang luar biasa, itu mudah diterima. Tapi menerima bahwa diri kalah, bahwa nyatanya karya kita tak sebanding dengan mereka yang kita anggap hebat, itu yang sulit. Memang lebih baik mencoba dan gagal daripada tidak mencoba sama sekali. Iya, ngomong gitu emang gampang. Tapi ngerasain yang namanya udah usaha, nyoba, dan gagal, pasti ada lah yang namanya kecewa. Bohong banget kalau nggak kecewa. Yang namanya ikut kompetisi, pasti kita akan ngarep. Dan ngarep yang berujung sama kekalahan itu nggak enak. Gue sering begitu. Gue sering banget, tiap gagal gue pelajarin apa yang bikin gue gagal. Tiap gue kalah, gue pelajarin karya-karya yang menang atau yang kepilih. Tapi itu nggak cukup. Selalu ada ruang yang belum bisa gue taklukan. Dan gue sering banget menyembunyikan kegagalan gue, gue nggak ingin orang tahu, bahkan kalau perlu nggak perlu orang tahu gue ikut kompetisi. Ketika mereka tahu dan mereka lihat daftar yang kepilih, "Kok nggak ada nama lo?" Sumpah, itu nggak enak. Iya gue emang lebih baik nutupin, nggak perlu ada yang tahu gue sedang nyoba, sedang usaha. Nggak perlu. Tapi yang paling nyakitin adalah karena orang nggak tahu, ada aja yang bilang, "Kamu tuh pengecut, gamang, nyoba aja nggak pernah gimana mau tahu hasilnya."
Anjrit. Justru karena gue tahu hasilnya makanya gue nggak akan berkoar. Justru karena gue tahu gue sering gagal apa perlu gue beberin semuanya? Apa karena dia nggak pernah lihat "nama" gue terus seenaknya bilang gue nggak pernah nyoba? Gue cuma nggak pernah bilang kalau gue udah nyoba. Karena gue benci ketika gue memamerkan kekalahan, orang akan memandang gue dengan pandangan iba. Muka mereka kaya mau bilang 'kasihan, udah usaha, punya bakat, tapi sering banget gagal.'
Mungkin gue lebay. Tapi emang nggak sedikit yang bilang gue punya bakat, tapi apa artinya kalau pembuktian gue ke dunia yang lebih luas lagi selalu yang gue terima adalah kalah, gagal, itu lagi, itu lagi, jadi nggak salah dong kadang gue tutup kuping gue dari pujian orang sekitar. Atau saking gue sinis, bisa aja kan mereka ngomong gitu cuma buat ngehibur gue. Tapi gue nggak segitunya sih, gue lebih milih untuk nggak terlalu terbuai kalau ada yang muji. Walaupun nggak bisa dimungkiri, orang dipuji pasti seneng. Tapi ya itu tadi, gue butuh pembuktian terhadap diri gue, terhadap pujian-pujian itu dengan mengujinya. Mengujinya ke hadapan orang-orang yang lebih ahli, orang yang lebih banyak, orang-orang yang tidak mengenal gue. Hasilnya, pasti bisa lebih objektif. Tapi, ya, mungkin emang perjalanan gue masih sangat panjang banget, Dan mungkin gue bukan harus terus melulu nyari menang dari orang lain, tapi mungkin penyebab gue selalu kalah dari orang lain karena gue nggak bersungguh-sungguh ketika gue bertarung dengan diri gue sendiri. Gue nggak bener-bener niat untuk bisa menang dari diri gue sendiri. Akibatnya gue melalukan toleransi, pemanjaan yang bisa jadi agak berlebihan terhadap diri sendiri, bukannya memecut, meninju diri gue, untuk bisa bikin karya yang lebih hebat lagi. Kadang, memang butuh tega terhadap diri sendiri (kadang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar