DATA BUKU
Judul : Madre
Penulis : Dewi
Lestari
Penerbit : PT Bentang
Pustaka
Cetakan : I, Juni
2011
Tebal : 162
halaman
ISBN :
978-602-8811-49-1
“Wajah” Tuhan dalam Kupasan
Bawang
Dee, begitu ia biasa disapa, menghadirkan pesona yang
terasa magis dari hal-hal yang biasa, yang terasa ajaib dalam keseharian.
Begitu ringan dengan kisah yang mengalir, tapi tetap menyentuh, renyah, tapi
tidak sepele. Ia sukses mengemas sebuah cerita hingga tidak hanya menjadi
‘sekedar cerita’, tapi cerita yang berbobot, tanpa menggurui. Kompilasi kisah
sederhana dari kehidupan yang biasa dijalani dan dilewatkan begitu saja. Di
tangan Dee, kisah-kisah seperti itu diolah menjadi sebuah adonan yang kaya
rasa, dari bahan-bahan yang tentu saja tidak setengah jadi.
Seperti rasa madre
yang difantasikannya, buku ini pun memiliki cita rasa yang begitu khas, khas
Dewi Lestari, sekata dengan apa yang ditulis oleh Sitok Srengenge sang editor,
“Melalui Madre ini – secara sadar, mungkin tidak sadar – Dee telah mengungkap
rahasia dapur kreativitas: sebagaimana produsen roti punya adonan biang, Dee
pun punya madre, formula khusus yang
membuat karya-karyanya terasa istimewa”. Ungkapan itu tampaknya tidak bohong,
karena ketika membacanya, kita akan dibawa ke dunia yang begitu khas Dewi
Lestari, dengan tawaran peristiwa biasa yang diramu dengan perenungan yang
mendalam, dilarutkan dalam kepekaan merasa, balutan intuisi yang kuat, serta
percampuran intelektual di dalamnya, membuat buku ini jauh dari kata
‘kacangan’. Agak sulit biasanya penulis mampu mempertahankan kurva kualitas
karyanya jika sudah menelurkan beberapa buku, tak jarang karya pertama seolah
menjadi anak sulung yang dikaruniakan beragam kekayaan isi dan mutu, karya
seterusnya, hanya kandas mendapati sisa-sisa kecerdasan dan energi yang telah
terhabiskan pada karya pertama. Seperti kembang api yang hanya meriah di awal,
dan meredup kemudian. Dapat dimaklumi, karena untuk menghasilkan sebuah hasil
awal untuk mengangkat ‘nama’ sang penulis, kemudian dibutuhkan suatu gebrakan
yang luar biasa, sebagai ‘pendahuluan’, sebagai penentu apakah penulis ini
mampu diperhitungkan eksistensinya kemudian atau tidak. Tampaknya ini tidak
berlaku bagi Dewi Lestari, grafik dari karyanya yakni sejak rangkaian
Supernova, lalu disusul Filosofi Kopi, Rectoverso dan Perahu Kertas, kemudian
Madre, tidak terlihat penurunan drastis atau anjloknya kualitas yang
mengecewakan pembaca setianya.
Cinta, Tuhan, dan
Kehidupan dalam Sekeranjang Tanya
Kumpulan cerita ini merupakan kumpulan dari apa-apa yang
menganggu sang pengarang, kegelisahan yang diakibatkan dari gumpalan-gumpalan
tanya seputar kehidupan. Kumpulan cerita yang disarikan dari berbagai
perjalanan, seperti yang Dee tulis dalam pengantarnya, “Menjelajahi Hasil
Fusi”, kumpulan kisah ini ia ibaratkan sebagai sebuah notulen dengan menuliskan
penjelajahan-penjelajahan yang ia lalui dalam benaknya, yang merupakan hasil
fusi dari sejumlah pertanyaan dan lamunan. Lamunan yang berkisar hal-hal kecil
di sekeliling kita, seperti layang-layang, mercu suar, acar bawang, dan lainnya
yang akan kita temukan ketika ikut terjun berpetualang bersama Dee dalam
kisah-kisahnya ini. Seperti dalam kisah Madre, yang bercerita tentang
menghidupkan kembali toko roti yang sudah tua dan melibatkan seorang pria
bernama Tansen yang ingin selalu hidup bebas dan awalnya tidak ingin menjadi
pengusaha roti, namun hidupnya yang seolah tanpa pijakan itu disindir oleh Mei
perempuan keturunan Tionghoa yang ingin membeli Madre, biang roti yang diwarisi
oleh kakeknya Tansen, “Kalau bebas sudah jadi keharusan, sebetulnya sudah bukan
bebas lagi, ya?” (hal.49). Kalimat-kalimat macam itu yang bila kita mau resapi,
sungguh mempunyai makna yang begitu memojokkan bagi mereka-mereka yang mengharuskan
dirinya untuk selalu bebas. Hidup, di mata Dee, tak ubahnya sebuah siklus, yang
mirip dengan rumusan pertanyaan dan jawaban. Jawaban yang berupa kesementaraan itu dapat lahir
dari tanya, dan dapat menghadirkan tanya yang baru lagi. Seperti itu pulalah
hidup. “Semacam siklus reinkarnasi. Ia
menjelaskan bagaimana hidup dan mati hadir bahu membahu seperti halnya gelap
dan terang. Hidup dan mati berkedip bergantian agar sekeping jiwa dapat merasa
dirinya terbelah dua demi mengalami sensasi bersatu kembali” (hal.87-88),
dikutip dari cerita yang berjudul Have
You Ever?, yang mengisahkan tentang dua orang yang seolah belahan jiwa dan
terbantu oleh semesta, dengan mercu suar dan Bintang Selatan. Meski mereka
terpisah sang perempuan meyakini bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang
pernah terpisahkan oleh kematian di kehidupan sebelumnya.
Lebih dari itu Dee mencoba membagi perasaan-perasaan menggelitik
tentang cinta dan Tuhan yang coba ia tuangkan dalam cerita yang berjudul
“Semangkok Acar untuk Cinta dan Tuhan”. “Itulah
cinta. Inilah Tuhan. Tangan kita bau menyengat, mata kita perih seperti
disengat, dan tetap kita tidak menggenggam apa-apa. Itulah cinta. Itulah Tuhan.
Pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan bukan tujuan. Pertanyaan, yang sungguh
tidak berjodoh dengan segala jawaban” (hal. 103). Dalam cerita dikisahkan tokoh ‘Aku’ yang
geram dengan pertanyaan wartawan yang bertanya padanya ‘Apa itu Tuhan’? dan
‘Apa itu cinta?’, mengajak sang wartawan untuk sama-sama mengupas bawang dengan
kuku hingga sampai serpih terakhir yang tak bias dikupas lagi.
Akan tetapi, Dee, dengan bijaknya tidak mewartakan
jawaban-jawaban dari ramuan kisah yang ia bibitkan dari pertanyaan-pertanyaan.
Ia hanya menyuguhkan kilasan-kilasan dari tangkapan lamunannya. Jabaran singkat
dari olahan pikirannya. Ia menyerahkan sepenuhnya pada pembacanya, yang justru
bisa saja memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru, karena perumusan jawaban,
justru hanya akan membawa kita pada persemayaman kesementaraan, “Jawaban
hanyalah persinggahan dinamis yang bias berubah seiring dengan berkembangnya
pemahaman kita. Namun, pertanyaanlah yang membuat kita terus maju”.
13 kisah menarik
dalam Madre, yang merupakan kumpulan karya Dee selama lima tahun
terakhir, telah menunjukkan kepiawaiannya sebagai penulis perempuan berbakat
yang dimiliki Indonesia. Dee yang telah memperoleh berbagai penghargaan sastra,
rupanya memiliki keinginan yang begitu mulia namun terkesan sederhana, baginya,
hadiah terbesar sebagai penulis adalah ketika karyanya dapat menyentuh, bahkan
mengubah hidup pembacanya. Memang bukan perkara yang gampang, namun tampaknya
dengan melihat karya-karya Dee, hal macam itu bukanlah sesuatu yang mustahil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar