Bulan
Juli 2011 kemarin, tepatnya tanggal 29, Sewon Art Space Yogyakarta
melangsungkan pembukaan pameran yang berjudul
“To Know The Unknown” (Mengenal yang Tidak Dikenal) yang sekaligus
menjadi ajang memperkenalkan art space
baru tersebut dengan memamerkan karya dari 3 perupa Indonesia dan 3 perupa
Austria. Karya-karya yang dipamerkan hingga 12 Agustus 2011 ini merupakan
kolaborasi dari seniman yang berasal dari 2 negara tersebut. Mengapa dipilih
sistem kolaborasi? Karena sistem pameran kelompok sudah biasa dalam dunia seni
visual, tapi soal kolaborasi, biasanya tampil berupa bentuk kerjasama dalam
seni musik, film atau pertunjukkan.
Project pertama yang dianggap jarang dan tidak biasa ini – karena menampilkan
karya kolaborasi seniman dari 2 negara – diharapkan menjadi batu loncatan yang
cukup baik untuk Sewon Art Space ke depannya. Proses perekenalan ini melibatkan
Marbod Fritsch, Lukas Birk, dari Bregenz, dan Karel Dudesek dari Vienna,
sedangkan dari pihak Indonesia tercantum nama Nurul Hayat (Acil) dari
Tasikmalaya, Baskoro Latu dari Yogyakarta, dan Arya Sukapura Putra dari
Bandung. Menariknya, Acil yang berkolaborasi dengan Fritsch, Baskoro dengan
Lukas, dan Dudesek dengan Arya, dikondisikan untuk tidak saling mengenal satu
sama lain secara personal maupun melalui karya-karya mereka hingga pada saat
momen pameran untuk meningkatkan ketegangan di antara para seniman tersebut.
Lahirnya
seniman dan art space memiliki tujuan
yang sama, yaitu untuk dapat terus eksis dalam dunia seni, keberlangsungan nama
mereka itu ditentukan melalui perkenalannnya terhadap publik, untuk dilihat,
diakui, kemudian diapresiasi. Ada semacam narasi kecil yang tereksplorasi
melalui eksperimen project ini. Eksperimen yang diawali dengan membuat hubungan
dalam ruang, yang saling terpaut dalam warna dan bentuk, eksplorasi pikiran dan
rasa yang dikeluarkan melalui kata-kata dalam naungan waktu. Penyatuan yang
menjadi sebuah seserahan, pembuka jalur Sewon Art Space sebagai pendatang. Pengolahan
penyatuan yang mengantarkan Sewon Art Space ke wilayah seni yang lebih luas
lagi, harus diteruskan dengan menguatkan jaringan-jaringan yang mulai dijalin.
Karena tidak hanya dalam dunia seni yang memang mengharuskan adanya jejaring
sosial yang kuat di dalamnya, untuk
kehidupan manusia pada umumnya perihal membangun jejaring menjadi
persoalan yang tidak bisa disepelekan.
Umumnya
karya-karya kolaborasi ini tidak terlalu menekankan konsep tertentu, karya yang
cukup menarik lahir dari Nurul Hayat (Acil) yang bertajuk “Live in Sign” yang
diimbangi judul dari Fritsch, “Network”.
Karya Acil ini berupa sejumlah miniatur berbentuk manusia yang terbuat dari
koran-koran bekas dan terjaring dalam tali-tali yang saling berhubungan begitu
semerawut, orang-orang yang terjerat itu berada di atas cermin lebar dan berada
di dalam tiang-tiang alumunium berbentuk limas segi empat. Karya itu seolah
menegaskan bahwa manusia-manusia postmodern selalu hidup dari jaringan tanda,
sekumpulan petanda yang termuskan melalui bahasa, bahasa yang dibentuk oleh society seperti yang Derida bilang bahwa
tubuh pun menjadi semacam teks. Manusia-manusia dalam limas Acil seperti tidak
dapat bebas, serupa kebudayaan yang mengikat, persis yang dikatakan antropolog
Clifford Geertz, bahwa kebudayaan seperti jaring laba-laba, dimana manusia
terjebak di dalamnya, dan dapat membuat jaring baru. Begitu pula dan budaya
seni visual, jejaring, menjadi poin yang penting. Yah, begitulah sekiranya apa
yang ingin disampaikan art space yang
berlokasi di Palem Sewu RT 06, Pangunharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta ini
melalui kehadiran barunya. Dengan program AIAP (Austro Indonesian Arts Program), ia memfasilitasi kolaborasi dan
wacana antara seniman Indonesia, Austria dan Eropa, dan mempromosikan seni
kontemporer dari berbagai disiplin ilmu.
Tentunya
kehadiran Sewon Art Space di ranah seni visual sebagai wadah baru yang
menampung jiwa-jiwa kreatif perlu diapresiasi. Karena bagaimana pun, jumlah
seniman yang lahir tiap tahunnya tidak dapat dikatakan sedikit. Timbul-tenggelamnya
mereka bergantung dari bagaimana ‘memperkenalkan diri’ dan membangun jejaring,
di samping kualitas karya yang tidak dinomorduakan, niscaya, itulah yang akan
menentukan keberlangsungan mereka dalam dunia yang mereka pilih. Kehadiran
Sewon Art Space yang turut meramaikan ruang-ruang seni di kota Yogayakarta
seolah tidak hanya ingin menjadi wadah, ruang pamer, atau fasilitator
berkesenian, tapi terlibat dalam dinamika seni, dan meretas rasa asing di dunia
seni, melalui perkenalannya. Selamat berkenalan!
Nurul
Hayat (Acil), “Live in Sign”(2011), used newspaper, thread mirror, alumunium
Marbod
Fritsch, “Network”(2009), 160x240 cm print on foils
Photo
by: Haryo Canggih Wicaksono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar