Tidak ada yang tidak mungkin dalam penciptaan sebuah karya seni. Karena bentuk kebebasan yang paling optimal memang hanya dapat diperoleh di sini, meskipun batasan-batasan tertentu masih sedikit-banyak menungganginya, karena, tentunya tidak ada kebebasan yang benar-benar penuh, dalam hal apa pun. Pada celah itulah, Rio Setia Monata, mencoba mengeluarkan ide-ide fantastisnya dalam pameran tunggalnya yang berlangsung dari tanggal 29 Juli- 9 Agustus 2011 di Tembi Rumah Budaya, Yogayakarta. Dalam usianya yang terbilang cukup belia, pria kelahiran Ambarawa, 20 Maret 1989 itu memperlihatkan karya-karyanya yang mewakili jiwa anak-anak muda, sekaligus dengan perlawanan untuk meretas batas baik di dalam seni, maupun di jurusan Desain Interior, tempatnya menimba ilmu. Seni-seni yang dianggap agung biasanya menafikan sisi fungsional. Pembeda macam itu hanya agar menghindari lahirnya seniman-seniman ‘tukang’, yang hanya mampu melahirkan benda-benda fungsional yang biasanya mengabaikan sisi estetik. Hingga seni pakai, umumnya mendapat nilai pengakuan yang lebih rendah, karena dianggap ‘mengotori’ keluhuran dari seni. Seni-seni yang terlihat terbatas itulah yang coba dijembatani oleh mahasiswa Institut Seni Rupa Indonesia (ISI) Yogyakarta itu dengan sisi fungsional yang tidak sebatas kerjaan ‘tukang’.
Di dalam dunia desain interior tampaknya agak sulit ditemukan benda-benda yang di luar ‘kewajaran’ desain. Ada standar-standar tertentu yang mengharuskan sang desainer tidak membuat karya yang aneh-aneh, atau yang tidak normal. Selalu ada patokan-patokan yang membuat sang desainer berkompromi dengan jiwa seniman dalam dirinya, bernegosiasi dengan fantasi-fantasi liar miliknya.
Revolusi Damai terhadap Kelaziman
Pameran yang bertajuk “My Imaginarium” ini tampak memberikan sedikit angin segar di dunia seni rupa, dan khususnya di dunia desain interior itu sendiri. Seperti yang dapat terlihat dari beberapa karya Rio yang memanfaatkan barang-barang bekas yang kemudian ia sulap menjadi sesuatu yang bernilai, dengan tetap menyisipkan kekhasan dari dirinya. Seperti contoh karyanya yang berjudul “Joyful Home”, sebuah kursi santai yang tersusun dari kaleng-kaleng kosong cat semprot bekas pakai. Ia mengubah sampah, menjadi sesuatu yang berguna, dan memanjakan. Sebagai seniman yang suka membuat mural, kaleng-kaleng kosong itu begitu mencirikan dirinya. Dari apa-apa yang tersisa dari dirinya, masih dapat ia dayakan untuk membuat sebuah ruang dari impian-impiannya, rumah yang menaungi kesenangan-kesenagannya, sekiranya itulah pesan yang tertangkap dari kursi ‘Joyful Home’ yang diletakkan di dekat pintu masuk ruang pameran. Kejelian untuk merombak sesuatu yang tampak biasa menjadi luar biasa, menjadi salah satu kekuatan dari peserta ketujuh program Artist in Residence Tembi Rumah Budaya ini.
Kalau arsitek Amerika, Louis Sullivan mengatakan “Form follows function”, sebuah ungkapan yang menekankan bahwa arsitektur berkaitan dengan tempat untuk manusia melakukan aktivitas sehingga aspek kegunaan begitu dipentingkan, Rio justru mengatakan bahwa “Form follows beauty”. Fungsi, tidak lagi didewakan baginya, namun, juga bukan berarti ditinggalkan secara mutlak. Ia tidak medekonstruksi secara total, lebih kepada halus, tapi cermat. Suatu bentuk kekritisan yang tidak sinis.
Ada bentuk-bentuk rumah yang unik yang tampil dalam karyanya, ada ragam orang-orang kecil yang menyemut, terlihat suasana yang begitu riuh, terlihat warna-warni yang ramai. Ada sofa, ada cermin, ada jendela, pintu, akuarium, benda-benda yang terbiasa menghiasi interior rumah, namun figur-figur biasa itu diubah menjadi tampilan yang tidak lazim. Ada semacam energi pemberontakan yang begitu halus, karena seni memang bisa menjadi sebuah jalan revolusi yang damai. Hentakan perlawanan yang manis itu seolah ingin ‘menggoyang’ pakem-pakem dalam seni rupa dan juga desain interior. Antara estetika, dan benda-benda fungsional, antara kekakuan dalam desain dan kelenturan dalam seni. Benda seni yang dapat dipakai, bukan berarti menurunkan derajat ‘ke-seni-annya’, dan benda-benda yang aneh, nyentrik, bekas dan tidak sesuai standar desain, tidak lantas tak dapat menghasilkan fungsi. Dalam perlawanannya ini Rio seolah ingin memperlihatkan jiwa kekanakannya, yang penuh fantasi dan imajinasi. Uniknya, semacam ada kesenangan untuk menciptakan sesuatu yang penuh dengan kenyamanan di balik karya-karyanya yang terkadang terlihat berantakan.
Rio pun melampaui batasan karya seni dalam pameran yang biasanya tidak boleh disentuh, karya-karya seni yang biasa dipajang dalam pameran-pameran umumnya selalu diberi larangan untuk disentuh, hanya boleh dipandangi saja. Lain halnya dengan karya yang dibuat Rio, yang tidak hanya dapat dinikmati lewat mata, namun juga dapat dimainkan bahkan didudukki. Seperti contoh karyanya yang diberi judul “Soulmate Blissfulness Chair #1”, karya ini berupa sofa yang dihias dengan gambar, karya ini tentunya dapat kita dudukki. Seolah tidak berjarak antara karya seni dengan penontonnya. Karya tersebut menjadi salah satu contoh, bahwa Rio mengambil inspirasi dari benda-benda sederhana yang dekat dengan kita, benda-benda yang menemani manusia di dalam rumah dan biasanya diabaikan justru bisa menjadi sebuah belahan jiwa kita, sumber kebahagiaan kita, karena di situlah kita terbiasa terduduk, bahkan tidur, atau berlompat-lompatan di atas sofa, seperti anak kecil, benda-benda rumah, selalu mengingatkan kita pada kenangan-kenangan masa kecil, kenangan-kenangan manis yang terpatri pada perabot-perabot yang menghias rumah.
Rumah, Fantasi, dan Kenangan yang Meruang
Seperti khayalan seorang anak tentang sebuah rumah, beberapa karya Rio menampilkan sosok rumah dan atribut-atributnya yang tidak biasa. Rumah seperti bentuknya yang seolah tumbuh ke atas serupa dengan khayalan kita yang vertikalitas menurut Gaston Bachelard. Rumah baginya adalah tempat yang melindungi impian-impian penghuninya, rumah adalah tempat merajut kenangan-kenangan. Makna rumah sebagai penampung lamunan (daydream) yang selalu terbawa dalam alam khayal kita. Hal ini memungkinkan manusia melahirkan gagasan-gagasan dari imajinasinya yang hadir. Pendapat Bachelard itu tampakanya senada dengan pameran ini.
“My Imaginarium”, kata itu mengingatkan pada kata indung telur, atau ovarium yang ada pada tubuh perempuan. Ovarium melepaskan ovum, dan proses pelepasan yang disebut ovulasi itu bergerak menuju rahim dan dapat berkembang menjadi zigot jika bertemu dengan sperma dan terjadi pembuahan, jika tidak ia akan luruh menjadi darah mens. Proses macam itu dapat diibaratkan dengan proses pengejawantahan dari imajinasi-imajinasi yang dimiliki Rio. Ada ruang di dalam dirinya yang bersemayamkan imajinasi, pelepasannya melibatkan pergulatan dari beragam perasaan. Beberapa karyanya terlahir seperti bayi yang berhasil keluar dari rahim fantasinya, terlihat begitu murni, dan apik, karena melalui proses pematangan, sebagian karyanya luruh seperti darah mens, proses yang hanya melibatkan rutinitas dan gejolak sensitif kondisional, tapi tidak terlihat menjijikkan. Apa pun yang lahir dan luruh, tidak mengurangi kenikmatan penonton yang menyaksikannya.
Rio Setia Monata, “Flowing Down Like A Waterfall” (2011),
60 cm x 110 cm x 200 cm, Mix Media ( experiment)
Photo by : Haryo Canggih Wicaksono
Rio Setia Monata, “Joyful Home” (2011),
75 cm x125 cm x155 cm, spray paint on aerosol can and teak wood
Photo by : Haryo Canggih Wicaksono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar