Batu,
seperti yang kita lihat sehari-hari merupakan benda mati yang begitu kaku,
namun benda bisu itu disulap oleh Komroden Haro menjadi sesuatu yang seolah
hidup, seperti manusia. Itulah yang terjadi pada pameran
tunggalnya yang berlangsung dari tanggal 6-14 Agustus 2011 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). 40 patung-patung yang membatu itu
seperti berutur, seolah berbicara. Beberapa di antaranya masih dijadikan
Komroden Haro sebagai medium untuk mengangkat cerita tentang kehidupan, semacam
perantara pesan dari sang senimannya, tapi beberapa yang tampak istimewa justru
ketika batu-batu itu seperti bercerita sendiri, bertutur melalui bahasa
diamnya.
Seperti patung batu yang ia
beri judul “Berkeringat”, tampilannya begitu sederhana, dengan
tonjolan-tonjolan di luar permukaan batu yang merepresentasikan keringat, tapi
kesederhanaan itulah yang terasa mengusik, benda yang mati macam batu, dapat
dikhayalkan berkeringat layaknya makhluk hidup. Tak jauh berbeda dengan karya
“Sleeping Stone” nya, batu kecil yang di atasnya berada tulisan ‘Zzzzz’
mengungkapkan bahwa keheningan yang dimiliki batu bukan berarti ia tidak
bersuara, begitu juga karyanya yang berjudul “Family”, yang divisualkan dengan
beberapa tumpukan batu yang diikat oleh tali, namun tali-talinya tampak putus
di beberapa sisi, seolah mencerminkan makna “Keluarga” yang tidak selalu dalam
satu koridor dalam hidup manusia. Bahkan batu pun tidak membatu, ia mampu
merasa, layaknya manusia.
Merajut Puisi pada Batu
Seperti
yang dikatakan kurator pameran ini, Rain Rosidi “Batu bagi Komrodin bukan hanya
persoalan sebuah material, namun juga karakter bentuk”. Akan tetapi lebih dari
itu, pameran ini tak hanya sekedar bermainnya wacana bentuk (form), patung-patung yang tak hanya
bermaterial batu – tapi juga logam dan resin – itu tidak hanya menonjolkan apa
yang dapat dilihat secara visual saja, tapi seolah dapat didengar. Melebihi
yang tampak (beyond the visual)
menjadi ciri dari pameran ini, kekuatan karya patung tidak melulu mengutamakan
sisi material. Tapi makna-makna tersembunyi (hidden meaning), yang lebih bersemayam pada in absentia, tidak semata pada yang in praesentia, yang dapat dinilai melalui teknik dan bentuk, yang
maknanya dapat ditangkap sekarang. Namun karya-karyanya cukup tampak kuat
karena Komroden mampu mengkombinasikan keduanya. Patung-patung itu seakan
berkisah, entah berdialog, ataupun berbicara sendiri. Benda mati itu bagai
bernyawa dan bernafas, berpuisi dengan suara yang begitu lirih, bernyanyi dengan
nada yang begitu sepi. Komroden memahat sajak pada patung-patungnya, senada
dengan yang disebut Thomas Gray, bahwa puisi adalah pikiran-pikiran yang
bernafas. Batu-batu dalam kemasan Komroden telah merajut untaian ide-ide dan
kepekaan, hingga menghasilkan alunan puisi yang seolah memanusiakan batu.
Serupa juga dengan apa yang dikatakan William Shakespeare dalam All's Well
That Ends Well Act 2, scene 1, 72–78 (‘Breathe Life Into Stone’), I have seen a Medicine. That's able to breathe life into a stone,
Quicken a rock, and make you dance canary with spritely fire and motion,whose
simple touch is powerful to araise King Pippen, nay,To give great Charlemain a
pen in 's hand. And write to her a love-line.
Image-image
keras dan bisu dari patung-patung seolah dipatahkan oleh Komroden Haro,
dilunakkan hingga penciptaannya kembali menjelma dongeng, dongeng tentang
sebuah negeri, seperti karyanya yang ia letakkan di bagian depan pintu masuk
berjudul “Thanks to Earth”, sebagian lainnya menjelma puisi-puisi tentang cinta
dan kehilangan, seperti salah satu contohnya karya yang berjudul “Wish You Were
Here”, karya tersebut menampilkan batu yang sedikit bagiannya bolong membentuk
rupa wajah manusia, puisi yang mencerminkan kerinduan untuk merasakan
kelengkapan, perasaan yang rumpang karena kehilangan. Hal ini senada dengan
karya lainnya yang berjudul “Loosing Addres”, yang berbentuk seperti organ hati
manusia.
Menonton pameran ini seolah
menyaksikan pertunjukkan patung dan batu-batu yang menari dalam gerakan bisu,
bernyanyi dalam bisik yang hening, begitu puitis. Patung
di tangan Komroden Haro, sebagai benda padat, berisi pemadatan ide, namun telah
mencairkan makna di benak setiap apresiator, di setiap hati manusia yang datang
menonton, mencatat dalam ingatan, apa-apa yang mereka saksikan dari pameran
“Mencatat Batu” ini
Kalau batu saja
mampu merasa, bagaimana dengan kita?
Photo by: Haryo Canggih Wicaksono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar